web 2.0

Jumat, 20 Maret 2009

SMK, Angan-Angan v Realita

Oleh: Lusifranika, Guru SMP Al Hikmah Surabaya

BELAKANGAN, pemkot mengejar target rasio sekolah menengah kejuruan dan sekolah menengah atas (umum) menjadi 70 : 30. Artinya, jumlah siswa SMK harus jauh lebih banyak daripada siswa SMA (Jawa Pos, 3/1/09). Upaya ke arah itu sudah dilakukan dengan promosi ke sekolah-sekolah menengah pertama, menggratiskan biaya pendidikan, pembangunan sarana SMK, dan iklan di televisi.

Kenyataannya, SMK bukan pilihan favorit atau utama bagi sebagian besar lulusan SMP. Bila siswa SMP ditanya mengapa lebih memilih SMA, bukan SMK, jawaban yang muncul adalah sulit mendapatkan pekerjaan, gaji lulusan SMK kecil, dan lulusan SMK jadi pegawai bawahan.

Di sisi lain, input siswa SMK adalah siswa yang orang tuanya berekonomi menengah ke bawah. SMK menjadi sekolah cadangan bila tidak diterima di SMA (sekolah pilihan terakhir).

Siswa SMK atau SMA merupakan siswa usia remaja (15-18 tahun). Di usia ini, anak belum siap dengan beban kerja. Jiwa kemandirian anak harus ditanam sejak dini. Kurikulum pendidikan keterampilan harus diperkuat sejak sekolah dasar. Pengayaan bidang studi juga perlu diperkuat sejak SD. Siswa perlu paham untuk apa manfaat belajar matematika, bahasa, IPA, atau bidang studi lain. Kedewasaan berpikir siswa SMP akan menentukan dia memilih SMA atau SMK.

Lulusan SMK yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi harus bersaing keras dengan lulusan SMA. Sebab, kurikulum SMK lebih dominan praktik. Mau masuk perguruan tinggi harus dites dulu dengan soal yang tidak banyak didapat di SMK. Padahal, semua lulusan SMA atau SMK ingin mencicipi bangku kuliah. Hanya, karena keterbatasan dana atau hal lain, tidak semua dapat masuk perguruan tinggi.

Lulusan SMK lebih diarahkan ke dunia kerja. Padahal, siswa SMP umumnya berharap suatu saat akan kuliah. Tak aneh, mereka lebih memilih SMA. Bukankah kita mengajarkan kepada siswa untuk mengejar cita-cita setinggi langit?

Selain itu, SMK tidak ngetren. Sejak zaman Rano Karno dan Yesi Gusman, tidak ada Gita Cinta dari SMK. Yang ada hanya cerita-cerita SMA. Menjadi siswa SMA lebih bergengsi daripada siswa SMK. Persepsi ini yang harus diubah lebih dulu.

Fakta menunjukkan, hanya 20 persen lulusan SMA di Surabaya melanjutkan ke perguruan tinggi (PT). Sisanya tidak melanjutkan dan memilih bekerja (Jawa Pos, 3/1/09). Jika sekolah menengah atas tetap jadi favorit bagi lulusan SMP, dapatkah pemerintah membuat program lulusan SMA plus-plus? Maksudnya, jika lulus SMA ingin bekerja, dia mudah mendapatkannya karena sudah dibekali keahlian sesuai bidangnya. Atau, dapatkah SMK plus-plus. Maksudnya, SMK menghasilkan lulusan yang cerdas dan terampil. Sehingga, jika bekerja, lulusannya dapat meningkatkan karir.

Pemerintah harus mampu meyakinkan orang tua dan siswa bahwa lulusan SMK akan punya masa depan yang cerah. Pemerintah harus meyakinkan perusahaan bahwa lulusan SMK punya nilai tambah yang bisa memajukan perusahaan. Hanya dengan begitu program 70 SMK : 30 SMA tidak diragukan.(soe)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 20 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar