web 2.0

Minggu, 15 Maret 2009

Kemasan IPA Harus Variatif

Oleh: Lilis Kusmawati, Guru dan Mitra Kelas 3 SDIT Al Ummah Jombang

BAGI saya, mengajar IPA lebih mudah daripada mengajar Bahasa Indonesia. Mengapa? Sebab, IPA adalah ilmu pasti, yang mudah dinalarkan kepada anak. Tapi, itu ternyata tidak berlaku pada semua anak.

Ada anak yang begitu antusias mengikuti IPA. Dia selalu menantikan saat ada pelajaran IPA. Daftar pertanyaan terkumpul di otaknya dan dia seperti tak sabar mengeluarkan unek-unek. Misalnya, ketika kami sampai pada bab Indra Peraba-Kulit, dia bertanya, "Mengapa kulit kaki bisa pecah-pecah?"

Padahal, saya yakin, anak lain tidak berpikir bahwa telapak kaki adalah bagian yang dipelajari di bab tersebut. Masih banyak pertanyaan yang dia lontarkan ketika saya mengajar di kelasnya.

Sebaliknya, ada kelompok anak yang sangat berbeda dalam mengikuti pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). Saya katakan kelompok karena jumlah anak yang "tidak suka" pelajaran IPA itu tidak sedikit. Pelajaran IPA menjadi momok bagi mereka.

Ada beberapa alasan yang membuat mereka tidak menyukai pelajaran IPA. Pada kesempatan ini, saya hanya menyebutkan dua. Pertama, faktor guru pengajarnya. Kedua, kemasan pelajaran IPA tidak menarik bagi mereka.

Guru sangat berpengaruh terhadap daya serap anak dalam mengikuti pelajaran. Seharusnya, guru punya cara tersendiri untuk masuk ke dalam pikiran anak. Jangan malah sebaliknya, anak dipaksa masuk ke dalam pikiran guru, yang notabene adalah pikiran orang dewasa.

Yang tak kalah penting, kemasan pelajaran IPA harus dilakukan secara menarik. Misalnya, dalam mengawali pelajaran IPA, guru menjelaskan materi sebentar saja. Selanjutnya, anak diajak langsung belajar dari alam. Ini sesuai untuk bab yang berhubungan dengan alam sekitar, misalnya "daun tumbuhan".

Dalam bab ini, anak bisa diminta memetik beberapa daun lalu diminta mengidentifikasi bentuknya, baik berdasar jumlah helai daun maupun bentuk tulang daunnya. Hal-hal yang diamati anak disimpulkan dan dibahas bersama. Dengan demikian, anak merasa bersinggungan langsung dengan alam yang akan menjadikan pengalaman baru yang susah terlupakan sampai dewasa.

Bagaimana dengan materinya struktur tubuh manusia? Untuk materi ini, yang paling cocok adalah menyediakan alat peraga, yang bentuk dan ukurannya diharapkan sama dengan aslinya. Dengan begitu, anak mudah menghubungkan ilmu yang diterimanya dengan kondisi tubuh manusia, termasuk dirinya sendiri.

Bagaimana pula jika materinya "benda"? Untuk materi ini, justru banyak hal yang bisa dijadikan ladang berkreasi dan bereksperimen bagi anak. Mereka bisa diajak membuat model peraga yang bisa menerangkan benda tersebut.

Anak juga bisa diajak praktik langsung mengamati sifat dan perubahan yang terjadi pada benda padat, cair, dan gas. Bahan yang dipakai sebaiknya yang mudah didapat dan umum dipakai di masyarakat. Dengan begitu, anak paham bahwa salah satu tujuan mempelajari benda adalah bisa dijadikan modal berbisnis saat dewasa nanti.

Dengan kata lain, mengajar IPA harus enjoy and fun bagi anak. Pembelajaran yang monoton hanya bicara harus disingkirkan. Tidak fair jika pembelajaran IPA sekadar mengejar kemampuan kognitif dengan memecahkan ratusan soal. Kemasan IPA harus memberikan ruang gerak kepada anak untuk bebas berkarya dan bereksperimen.

IPA bisa juga disajikan dalam bentuk kunjungan ke objek secara langsung (field trip) atau mendatangkan guru tamu (guest teacher) ke sekolah. Kunjungan bisa dilaksanakan ke gunung kapur sebagai aplikasi pelajaran IPA, IPS, dan agama. Sedangkan guest teacher bisa bisa pakar, praktisi, atau memberdayakan wali murid secara berkala. Setelah melaksanakan dua hal tersebut, anak diminta membuat laporan sederhana. Jika pembelajaran IPA bisa dilaksanakan bervariasi, anak tidak akan bosanm, bahkan mungkin merindukan IPA. Semoga.(soe)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 13 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar