web 2.0

Jumat, 20 Maret 2009

Kecerdasan Spiritual Dongkrak Nilai

Oleh : Titis Juliadi Nugoho, Kepala SDIT Al-Ummah, Jombang

Ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) SD mulai diterapkan pada 2008. Selain untuk pemetaan pendidikan, bentuk penilaian tersebut digunakan sebagai dasar penetapan kelulusan dan seleksi masuk SMP. Dua tujuan terakhir itulah yang sering merisaukan sekolah dan orang tua siswa.

Sekolah sebagai pihak yang diberi amanah oleh orang tua murid merespons tantangan UASBN dengan berbagai strategi. Mengadakan les tambahan, misalnya. Tentu, itu menambah jam belajar siswa, mungkin juga biaya. Bahkan, ada sekolah yang mengarantina siswa pada malam selama UASBN dengan dalih agar siswa dapat belajar secara baik.

Orang tua yang belum puas dengan les tambahan di sekolah mendaftarkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar. Itu masih ditambah tryout, baik yang diadakan sekolah, UPT dinas pendidikan, dinas pendidikan kabupaten, SMP negeri dan swasta sembari promosi, maupun lembaga bimbingan belajar. Semua menambah gegap gempita UASBN dan beban yang dipikul siswa.

Persiapan akademis itu sering membuat sekolah melupakan persiapan mental spiritual siswa. Akibatnya, hasil yang dicapai tidak sesuai harapan.

Ada tiga dasar falsafah pendidikan berbasis kecerdasan spiritual. Pertama, pendidikan harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dan jiwa. Harus disadari bahwa hal-hal yang bersifat fisik berpengaruh besar terhadap proses psikologis. Pada saat yang sama, pikiran memengaruhi proses psikologis dan fisiologis.

Kedua, manusia memiliki kemampuan hampir tanpa batas. Tubuh dan jiwa manusia bisa berkembang jauh lebih tinggi daripada yang kita bayangkan. Pendidikan harus berusaha mengoptimalkan seluruh potensi tersebut.

Ketiga, dimensi mistikal dalam kehidupan manusia harus dikembalikan pada situasi belajar. Agama memberikan jalan sistematis untuk memperoleh pengalaman mistikal dan mengantarkan anak didik pada proses kembali kepada Tuhan yang membimbing mereka.

Pertanyaannya, bagaimana menerapkan itu? Ada tiga metode. Yakni, memaksimalkan pengaruh tubuh terhadap jiwa, memaksimalkan pengaruh jiwa terhadap proses psikofisik dan psikososial, serta bimbingan ke arah pengalaman mistikal.

Metode pertama, memaksimalkan pengaruh tubuh terhadap jiwa bisa dilakukan dengan menata lingkungan fisik yang menyenangkan, penggunaan musik, dan latihan fisik. Dalam kegiatan outbound, misalnya, siswa melakukan latihan fisik yang menantang. Misalnya, bermain jembatan burma, flying fox, atau game kerja sama tim. Keberhasilan siswa dalam permainan itu meningkatkan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa sesulit apa pun masalah, mereka mampu mengatasi, apalagi UASBN.

Metode kedua, memaksimalkan pengaruh jiwa terhadap proses psikofisik dan psikososial bisa dilakukan dengan modeling, menanamkan rasa bangga, berpikir positif. Sebulan menjelang UASBN lalu, kami membacakan buku Laskar Pelangi yang lagi ngetren. Kisah sukses tokoh utama, Ikal yang anak buruh tambang, kami harapkan menjadi model bagi siswa bahwa keberhasilan adalah hak setiap anak. Kisah tragis Lintang yang jenius tapi harus berhenti sekolah lantaran menjadi ayah bagi adik-adiknya, kami harapkan menjadi cambuk penyemangat bagi siswa. Persahabatan antartokoh Laskar Pelangi, kami harapkan memperbaiki atmosfer kelas agar saling mendukung.

Metode ketiga, bimbingan ke arah pengalaman mistikal bisa dilakukan dengan merujuk pada latihan rohani yang diajarkan agama. Menginjak semester genap, sebagai persiapan UASBN, kami menambah jam istirahat bagi siswa guna melaksanakan salat duha dan zikir. Kami juga mengharuskan siswa berinfak dan mengajak mereka memberikan langsung ke panti asuhan sambil minta didoakan.

Kami mengajarkan kekuatan imajinasi dengan meminta siswa membayangkan dirinya sangat pintar dan nilai UASBN tinggi sudah diperoleh. Kami akhiri persiapan UASBN dengan mengundang siswa, orang tua siswa, dan guru untuk mengikuti pelatihan semacam ESQ dengan tema bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Kesalahan dan dosa yang melibatkan guru, orang tua, dan siswa dilebur dengan saling memaafkan dan mengikhlaskan satu sama lain.

Kalau sependapat, silakan dicoba dan lihat apa yang terjadi. Atau, Anda punya pendapat lain? (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Selasa, 17 Maret 2009

Belajar Fiksi dengan Memperkaya Imaji

Oleh : Anton Tri Hartono, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Ar Rohmah, Malang

Di sekolah, pelajaran menulis fiksi, baik prosa maupun puisi, cenderung membosankan dan dianggap kurang bermanfaat. Dalam benak siswa, kegiatan menulis fiksi melelahkan dan hanya buang-buang waktu. Sedikit sekali siswa yang menilai menulis sebagai aktivitas menyenangkan sekaligus mempertajam cara berpikir. Seperti dinyatakan Joni Ariadinata, menulis itu sarana latihan logika dan latihan strategi.

Bagi sebagian orang, menulis fiksi itu bakat alam. Padahal, menurut Linus Suryadi, pengertian bakat dalam menulis merupakan usaha keras tak kenal lelah untuk terus menulis. Selain itu, bakat berhubungan dengan motivasi yang kuat untuk intens menulis.

Dalam pembelajaran menulis fiksi, ada metode efektif yang bisa diterapkan. Yakni, pola pendekatan imaji. Menurut para pakar kesusastraan, imaji atau citraan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman pancaindra. Seorang penulis fiksi bisa mengeksplorasi proses kreatifnya berdasarkan pengalaman indra penglihatan, indra pendengaran, indra perasa, indra penciuman, dan indra perabaan. Dengan modal pengalaman lima indra tadi, penulis menjadi "kaya" dalam berproses kreatif karena banyaknya pengalaman yang terekam.

Dalam tataran aplikatif, saat siswa menuliskan pengalaman menyikapi orang kentut, ada kasus siswa membuat untaian kalimat berikut.

Tiba-tiba suasana kelas itu menjadi riuh. Bunyi kentut Adi terdengar keras seperti bunyi petasan. Tidak ada dalam kelas itu yang tak mendengarnya. Semuanya menjerit. Apalagi baunya minta ampun. Mengingatkanku pada bau bangkai tikus yang mati di plafon rumah. Tak ayal, Pak guru langsung mengomel. Seluruh isi kelas menyudutkan teman satu bangkuku ini. Seakan ia adalah aib dan kotoran yang menjijikkan yang harus segera dibuang jauh-jauh.

Dalam contoh tersebut, ada tiga imaji yang terolah. Yakni, imaji pendengaran, imaji penciuman, dan imaji penglihatan.

Keunggulan pendekatan ini adalah tergalinya kekayaan imaji siswa. Siswa berimajinasi secara liar dan alami. Itu akan menjadikan siswa enjoy dalam menulis. Siswa bisa lebih merasakan dan masuk ke dalam karya. Dari sini diharapkan siswa terlahir menjadi manusia yang bebas, kaya pengalaman dan imajinasi, serta bisa menghargai potensi yang diberikan oleh sang Pencipta.

Agar pembelajaran dengan pendekatan ini berhasil, guru harus bisa menjadi inspirator, motivator, dan kreator. Guru harus menjadi inspirasi siswa saat memulai berkarya, membangkitkan motivasi siswa untuk menyelesaikan proses kreatifnya, dan menciptakan suasana berkarya yang menyenangkan sehingga karya siswa terlahir.

Dari faktor siswa, mereka harus intens membaca fenomena di sekelilingnya, baik yang bersumber dari alam maupun buku bacaan. Hal ini akan mendukung ketajaman kualitas karya siswa. Sekarang saatnya menulis fiksi menjadi pelajaran yang menyenangkan. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Rabu, 18 Maret 2009

Mengangkat Daya Kompetitif Sekolah

Oleh Yudha Cahyawati, Guru SMA Negeri 10 Surabaya

Kehadiran sekolah asing di Indonesia tidak bisa dielakkan. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari adanya arus globalisasi. Di era seperti ini, satu hal yang menjadi barang mahal adalah daya kompetitif. Aspek ini menjadi faktor dominan dalam menghadapi persaingan global di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Hanya sekolah yang memiliki nilai dan daya kompetitif tinggi yang bisa bertahan.

Harus diakui, kualitas pendidikan dan SDM kita masih kalah dengan sekolah atau SDM asing seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan, kita masih di bawah Vietnam.

Gencarnya promosi sekolah atau perguruan tinggi asing ke Indonesia bisa dianggap cermin rendahnya kualitas pendidikan domestik kita. Karena itu, promosi sekolah asing mestinya dijadikan tantangan dan motivasi bagi sekolah domestik untuk melakukan perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan sehingga bisa bersaing.

Saat ini yang harus kita garap serius adalah perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan. Lahirnya kualitas pendidikan sangat dipengaruhi dua aspek. Yakni, sistem (pendidikan) dan manusia. Pembangunan sistem dan manusia harus sejalan atau sinergis. Pembangunan dua aspek itu harus dilandasi nilai dan daya jual yang unggul dan kompetitif.

Selama ini, sistem pendidikan kita masih dalam konteks transfer of knowledge belum pada tataran transfer of values. Akibatnya, produk-produk pendidikan kita hanya menghasilkan manusia-manusia yang berpengetahuan. Praktis, pendidikan kita tak punya nilai kompetitif.

Di sisi lain, pendidikan juga membelenggu kita dalam realitas-realitas yang dikonstruksi negara sebagai penguasa tunggal. Para konsumen pendidikan tidak pernah dihadapkan pada ruang argumentatif. Mereka lebih dihadapkan pada situasi yang monologis dan top down. Bahkan, pendidikan sering tidak senapas dengan realitas sosial masyarakat.

Untuk itu, pendidikan harus mulai membangun relasi sosial dengan perkembangan masyarakat, baik lokal maupun global. Dengan demikian, pendidikan benar-benar bisa menjadi jawaban atas kebutuhan manusia dan masyarakat global. Pendidikan harus menjadi media pencerahan yang dialogis, konstruktif, dan mampu menghasilkan SDM yang tidak hanya memiliki tingkat intelektual dan keterampilan, tapi juga moralitas dan nilai kompetitif yang unggul.

Paradigma think globally, act locally harus menjadi pijakan dalam pengembangan sistem pendidikan kita ke depan. Keterbelakangan pendidikan kita antara lain disebabkan kita tak pernah membuka mata dan jendala dunia untuk mencari sesuatu yang baru dan inovatif serta positif bagi pengembangan kualitas pendidikan. Sikap dan budaya konservatif masih tumbuh dalam diri dan institusi pendidikan kita, sehingga kita sulit berkembang dan maju.

Berpikir global berarti kita dituntut berwawasan luas dan terus mencari gagasan dan terobosan baru dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas. Itu tidak dibatasi ruang dan waktu. Pengetahuan, ilmu, dan pikiran global konstruktif tersebut kita implementasikan dalam tindakan lokal di lingkungan pendidikan masing-masing.

Kita harus mulai berbenah dan berubah, baik dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Diharapkan muncul SDM-SDM yang berdaya guna, berkualitas, dan bernilai kompetitif tinggi yang siap bersaing dengan SDM atau sekolah asing. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 18 Maret 2009

Agar Kesulitan Belajar Tak Berkepanjangan

Oleh : Karti Tuhu Utami, SMP Negeri 1 Bangil, Pasuruan

Makanan dimakan, badan jadi sehat dan kuat. Ilmu pengetahuan dipelajari, pikiran jadi cerdas dan cermat. Makanan bisa masuk ke perut melalui mulut dan tenggorokan. Ilmu pengetahuan masuk ke pikiran melalui mata membaca. Siswa yang tidak mau/sulit makan rawan terserang penyakit karena mungkin kekurangn gizi yang dibutuhkan organ tubuh. Bagaimana bila siswa tidak mau belajar? Jelas, siswa menjadi tidak cerdas dan cermat.

Saat perut lapar, anak tak perlu menunggu perintah orang lain untuk mengisi perut. Bagaimana bila pikiran yang lapar? Seharusnya, siswa segera melakukan kegiatan belajar/membaca tanpa menunggu perintah guru atau orang tua.

Bagi sebagian siswa yang rutin makan, kebutuhan gizinya terpenuhi, tapi kadang masih terserang penyait juga. Demikian pula siswa. Meski sudah belajar tiap hari, ada yang tetap tidak cerdas. Itu yang disebut kesulitan belajar.

Pada dasarnya, tiap siswa mendapatkan kesempatan untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Kenyataannya, siswa memang berbeda-beda dalam kemampuan intelektual, kemampuan fisik, status sosial, kebiasaan membaca, serta pendekatan belajar.

Di sisi lain, perjalanan pendidikan di sekolah umumnya hanya ditujukan pada siswa yang memiliki kemampuan rata-rata. Siswa yang berkemampuan di atas atau di bawah rata-rata sering terabaikan. Di sinilah muncul istilah kesulitan belajar (learning difficulty).

Umumnya, kesulitan belajar siswa disebabkan hal-hal berikut. Pertama, faktor intern siswa, mencakup gangguan/kekurangmampuan psiko-fisik siswa. Itu bisa meliputi kognitif/ranah cipta (rendahnya inteligensi), afektif/ranah rasa (labilnya emosi dan sikap), dan psikomotor/ranah karsa (gangguan indra penglihatan dan pendengaran).

Kedua, faktor ekstern siswa, mencakup semua kondisi lingkungan sekitar yang dapat mendukung aktivitas belajar. Misalnya, lingkungan keluarga (kehidupan orang tua kurang harmonis atau rendahnya ekonomi), lingkungan masyarakat (perkampungan kumuh, teman sepermainan nakal), serta lingkungan sekolah (lokasi sekolah dekat pasar/tempat pembuangan sampah, guru kurang mendukung, sarana sekolah tidak memadai). (Muhibbin Syah, 2005: 173-174)

Menghadapi siswa kesulitan belajar, guru seharusnya melakukan diagnostik (upaya mengenal gejala awal dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kesulitan belajar siswa. Dengan demikian, guru bisa secara tepat menetapkan jenis penyakitnya (kesulitan belajar).

Salah satu diagnostik yang bisa dilakukan guru adalah prosedur Weerner dan Senf (1982). Sebagaimana dikutip Wardani (1991), prosedur itu meliputi observasi kelas (melihat perilaku aneh siswa dalam proses pembelajaran), memeriksa penglihatan dan pendengaran (khususnya yang diduga kesulitan belajar), wawancara dengan wali untuk mengetahui asal mula kesulitan belajar siswa. Langkah lainnya memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar serta memberikan tes kemampuan inteligensi (IQ) khusus bagi siswa yang diduga kesulitan belajar.

Setelah semua dilakukan, guru bisa menganalisis hasil diagnosisnya, menentukan kecakapan bidang yang bermasalah, menyusun program perbaikan, dan terakhir melaksanakan program perbaikannya. Guru seyogianya juga bekerja sama dengan guru BP dalam menangani kesulitan belajar siswa di sekolah. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Kamis, 19 Maret 2009

Ketika Guru dan Siswa Saling Mengajar

Oleh : Belfin P. Siahaan,Guru SMP Cita Hati Surabaya

Bukan rahasia lagi bila gudang pengetahuan kini bukan lagi milik sekolah atau guru. Ilmu pengetahuan bisa didapatkan di mana saja. Lebih-lebih adanya internet, toko buku, dan sumber informasi yang berseliweran di mana-mana.

Internet, misalnya. Hanya dengan menuliskan kata kunci, semua informasi yang ingin kita pelajari tersedia dengan pilihan beraneka. Ibarat toko serbaada, pelanggan tinggal memilih barang yang sesuai.

Memang, sekolah masih merupakan sumber pengetahuan formal yang kita kenal. Namun, pernahkah terpikir oleh kita bagaimana jika ilmu yang diajarkan oleh guru, materi yang disampaikan guru, selalu sama dari tahun ke tahun? Akankah kualitas siswa membaik?�

Fenomena senioritas kadang juga masih terjadi di kalangan guru. Guru yang merasa sudah malang-melintang dalam dunia pembelajaran merasa tidak perlu lagi ''belajar'' . Arogansi semacam itu tidak hanya berdampak buruk bagi si guru, tapi juga siswa.

Ketika masih duduk di bangku playgroup (PG), TK, dan SD, tidak jarang seorang anak mengucapkan celoteh, seperti "Kata Bu/Pak Guru ..." atau "Bu/Pak Guru bilang...". Perkataan begitu biasanya muncul tatkala instruksi atau tindakan orang tua dan keluarga tidak sesuai dengan yang diucapkan guru.

Itu menunjukkan, figur guru sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Siswa mempelajari segala hal yang baru dia ketahui dan langsung mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Fenomena yang terjadi di TK dan SD itu mungkin beda dengan di SMP dan SMA. Guru mungkin bisa menganggap siswa PG, TK, dan SD adalah objek yang belum tahu apa-apa. Dengan demikian, guru berperan sebagai subjek, pemberi, dan pengubah ketidaktahuan menjadi tahu. Akibatnya, metode pengajaran cenderung teacher centered, guru sebagai pusat dan utama.

Siswa SMP dan SMA bukan lagi objek yang tidak tahu apa-apa. Mereka subjek yang telah memiliki segudang pengetahuan. Sering guru tidak menyadari itu. Anggapan yang menyatakan bahwa siswa adalah pelajar, orang yang harus belajar, melekat begitu kuat. Sebaliknya, guru seolah tidak perlu belajar lagi.

Seharusnya, guru mengenali siswa sebagai subjek yang memiliki talenta tertentu yang bisa berkolaborasi dengan guru. Guru harus menjadi fasilitator yang menjembatani ketertarikan siswa dalam belajar.

Jika kondisi begitu bisa terjadi, bukan tidak mungkin siswa yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu akan mengajarkan apa yang dia ketahui. Sikap saling menerima, hubungan yang terbuka, dan kolaborasi yang baik akan menghasilkan simbiosis mutualisme.

Misalnya, guru musik boleh mengajarkan teori dan cara bermain musik. Namun, siswa juga boleh mengasah kreativitas sesuai permainan musiknya. Guru belajar tentang kemampuan siswa dan siswa belajar menerima arahan guru. Demikian pula, guru komputer bisa saja belajar tentang program-program baru dari siswa.

Tentu, kondisi begitu hanya mungkin terjadi jika guru menerapkan pola pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) atau pembelajaran kontekstual (contextual learning). Interaksi antara guru dan murid tidak dijalin dengan komunikasi yang kaku antara "orang yang serbatahu" dan "anak yang tidak tahu apa-apa".

Kalau kita mau jujur, guru dituntut mengalami dan membuat perubahan. Sebab, guru sesungguhnya adalah generation changer. Usia boleh tua, pengalaman yang dimiliki mungkin segudang pula. Namun, segudang pengalaman itu seharusnya diimbangi dengan segudang pengetahuan yang harus selalu di-upgrade, diperbarui, dan dikomunikasikan dengan siapa saja. Ibarat komputer, casing boleh lama, tapi software dan hardware-nya harus selalu di-upgrade. Moto seperti long life learner, never stop to learn, atau risk taker harus menjadi andalan guru dalam menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

Cara yang perlu dilakukan sebenarnya mudah. Pertama, guru harus siap untuk terus belajar. Kedua, mau belajar dari apa saja, bisa buku, sekolah, internet, termasuk dari siswa. Ketiga, berani membuat forum sharing yang berisi evaluasi diri. Keempat, bekali diri dengan keahlian yang tiap tahun bertambah. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 19 Maret 2009

Mengolaborasikan Pembelajaran SMA-SMK

Oleh: Suwati, Guru SMKN I Kota Mojokerto

PROGRAM pembelajaran untuk tingkat lanjutan atas dialokasikan pada orientasi yang berbeda, yakni SMA dan SMK. Kebutuhan masyarakat pada pola pembelajaran di sekolah lanjutan memang bermacam-macam. Namun, setidaknya, ada dua poin utama yang menentukan pilihan bersekolah. Yakni, menjangkau pendidikan lebih lanjut dan langsung menjangkau pekerjaan.

Tentu, tidak mungkin kedua aspek tersebut dijangkau oleh satu institusi. Karena itu, didirikanlah sekolah umum dan sekolah khusus atau sekolah kejuruan. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Namun, kondisi itu ternyata belum dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Lulusan SMA yang tidak mampu meneruskan jenjang pendidikan harus memasuki dunia kerja. Mereka harus bekerja karena ketiadaan kesempatan belajar lebih lanjut, baik karena biaya atau gagal dalam ujian masuk. Padahal, mereka tidak berbekal keterampilan untuk bekerja.

Di sisi lain, tidak sedikit lulusan SMK yang ingin mengikuti ujian masuk ke jenjang pendidikan lebih lanjut. Mereka belajar mati-matian untuk menguasai materi pelajaran yang dirasakan kurang saat belajar di SMK. Mereka menambah kemampuan teoretis dengan mengikuti pembelajaran khusus, bimbel, atau sebangsanya. Itu membuat mereka harus mengeluarkan biaya ekstra agar menguasai materi belajar sekolah umum.

Karena itu, seharusnya dimunculkan proses pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan siswa SMA dan SMK. Program pembelajaran ini dikondisikan agar kebutuhan teknis siswa SMA terpenuhi, demikian juga kebutuhan teoretis siswa SMK.

Pembelajaran kolaboratif bisa dianggap alternatif solusi untuk menciptakan intergralistik program antara SMA dan SMK. Program pembelajaran kolaboratif disusun sedemikian rupa sehingga siswa SMK dapat mengikuti pembelajaran keterampilan, aspek psikomotor yang tidak diperoleh secara maksimal di SMA. Sebaliknya, siswa SMK dapat mengikuti proses pembelajaran adaptif di SMA.

Untuk kelancaran program ini, diperlukan kerja sama yang solid untuk mengatur teknik pelaksanaan kegiatan. Terutama, berkaitan dengan waktu pelaksanaan dan jumlah siswa yang mengikuti program pembelajaran. Waktu terkait dengan jadwal belajar di masing-masing sekolah. Jika waktu yang diterapkan tidak tepat, akan terjadi benturan. Jumlah peserta juga perlu dialokasikan agar program berjalan efektif. Sebagai program kolaboratif, kualitas jauh lebih diutamakan daripada kuantitas.

Pada jadwal yang sudah disusun, siswa SMA belajar di SMK, khususnya di bengkel. Mereka diberi bekal keterampilan aplikatif dengan kurikulum implementatif, yang diadaptasi dari kegiatan teknik yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian, siswa SMA punya bekal keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan.

Program pembelajaran kolaboratif yang dijalani siswa SMK adalah proses pembelajaran selayaknya siswa SMA. Mereka dibekali pengetahuan sehingga mampu bersaing memperebutkan bangku kuliah dan dapat melanjutkan proses pembelajaran di tingkat lebih lanjut.

Bila terjalin kerja sama yang baik antara SMA dan SMK, asumsi bahwa SMK adalah sekolah kelas dua dapat dianulir. Yang terpenting, terakomodasinya kebutuhan masing-masing pihak sehingga anak didik dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukankah itu yang kita usahakan dalam proses pembelajaran? Kita memberikan hal terbaik yang dibutuhkan anak didik agar tidak kesulitan saat berhadapan dengan kehidupan yang sesungguhnya. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 20 Maret 2009

UN Teori Kejuruan, Sebuah Tantangan

Oleh: Ghozali, Guru SMK Negeri 1 Cerme, Gresik

ADA yang menarik dalam Permendiknas Nomor 78 tahun 2008 tentang Ujian Nasional (UN), khususnya SMK. Pelaksanaan UN tulis utama, yang biasanya tiga hari dengan tiga mata pelajaran wajib, sekarang berubah menjadi empat hari. Jadwal yang tertera untuk hari keempat adalah mata pelajaran teori kejuruan.

Peraturan itu diperkuat Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor 1513/BNSP/XII/2008 tentang Prosedur Operasional Standar (POS) UN Tahun 2008-2009. Yang perlu dicermati, mengapa bertambah? Adakah esensi yang diharapkan?

Kita mafhum, pelajaran kejuruan selama ini lebih ditekankan pada peningkatan skill siswa. Praktik di bengkel dan laboratorium, juga diterjunkannya siswa untuk prakerin, adalah salah satu bukti. Keterbatasan bahan ajar, baik berupa paket, modul, maupun bahan bacaan pendukung adalah bukti lain. Yang penting, siswa punya skill baik dan siap diterjunkan ke dunia kerja.

Secara intelektual?

Sebuah penelitian menemukan, ketika tamatan SMK baru masuk sebagai tenaga kerja, kemampuan dan prestasinya bagus. Mereka umumnya juga lebih memenuhi standar persyaratan dibandingkan temannya yang tamatan SMA. Namun, dalam perkembangannya, tamatan SMA segera bisa menyamai, bahkan mengungguli, kemampuan sang tamatan SMK. Sebab, mereka lebih memiliki kemampuan manajerial dan intelektual.

Siswa ujian tentu biasa. Kalau guru ujian? Inilah saatnya. Pelaksanaan UN teori kejuruan menuntut semua elemen guru kejuruan turut mengemban tanggung jawab dan harus siap "dikorbankan". Mereka tidak bisa bersantai karena siswa telah mampu berpraktik sesuai bidang kerjanya. Sekarang mereka dituntut lebih.

Salah satu yang menjadi ukuran kualitas seorang guru adalah kemampuan dan mutu lulusan. Dengan UN teori kejuruan, guru kejuruan mestinya tertantang untuk belajar, membaca, dan mendalami bidang ajarnya. Dia harus berusaha memecahkan masalah-masalah teoretis, terutama di hadapan siswa. Dia tidak bisa berleha-leha sambil merokok mengawasi praktik siswa.

Guru kejuruan dituntut memberikan pengajaran secara tepat, inovatif, dan balance antara teori dan praktik. Pembenahan sistem pembelajaran harus dilakukan. Mereka harus segera beralih ke sistem pembelajaran inovatif. Pendekatan yang dilakukan harus prosiswa sehingga pembelajaran berlangsung gayeng dan menyenangkan.

Perangkat pembelajaran berbasis information technology (IT) juga diperlukan untuk menuntun siswa memahami dan menggunakan teknologi yang sama. Dengan sama-sama memperkaya diri melalui berbagi jaringan informasi, antara guru dan siswa akan terjalin kesamaan langkah. Dengan demikian, pembelajaran akan jauh lebih mudah dan berdaya guna.

Melahirkan lulusan SMK yang memiliki kemampuan practical, managerial, dan intellectual tinggi harus jadi tanggung jawab bersama. UN teori kejuruan mestinya dianggap sebagai salah satu sarana untuk menggapai itu. Bila tantangan itu bisa dijawab, jati diri SMK akan kian nyata dan kian dengan harapan masyarakat dan pemerintah. Semoga.(soe)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 20 Maret 2009