web 2.0

Jumat, 20 Maret 2009

Ketika Guru dan Siswa Saling Mengajar

Oleh : Belfin P. Siahaan,Guru SMP Cita Hati Surabaya

Bukan rahasia lagi bila gudang pengetahuan kini bukan lagi milik sekolah atau guru. Ilmu pengetahuan bisa didapatkan di mana saja. Lebih-lebih adanya internet, toko buku, dan sumber informasi yang berseliweran di mana-mana.

Internet, misalnya. Hanya dengan menuliskan kata kunci, semua informasi yang ingin kita pelajari tersedia dengan pilihan beraneka. Ibarat toko serbaada, pelanggan tinggal memilih barang yang sesuai.

Memang, sekolah masih merupakan sumber pengetahuan formal yang kita kenal. Namun, pernahkah terpikir oleh kita bagaimana jika ilmu yang diajarkan oleh guru, materi yang disampaikan guru, selalu sama dari tahun ke tahun? Akankah kualitas siswa membaik?�

Fenomena senioritas kadang juga masih terjadi di kalangan guru. Guru yang merasa sudah malang-melintang dalam dunia pembelajaran merasa tidak perlu lagi ''belajar'' . Arogansi semacam itu tidak hanya berdampak buruk bagi si guru, tapi juga siswa.

Ketika masih duduk di bangku playgroup (PG), TK, dan SD, tidak jarang seorang anak mengucapkan celoteh, seperti "Kata Bu/Pak Guru ..." atau "Bu/Pak Guru bilang...". Perkataan begitu biasanya muncul tatkala instruksi atau tindakan orang tua dan keluarga tidak sesuai dengan yang diucapkan guru.

Itu menunjukkan, figur guru sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Siswa mempelajari segala hal yang baru dia ketahui dan langsung mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Fenomena yang terjadi di TK dan SD itu mungkin beda dengan di SMP dan SMA. Guru mungkin bisa menganggap siswa PG, TK, dan SD adalah objek yang belum tahu apa-apa. Dengan demikian, guru berperan sebagai subjek, pemberi, dan pengubah ketidaktahuan menjadi tahu. Akibatnya, metode pengajaran cenderung teacher centered, guru sebagai pusat dan utama.

Siswa SMP dan SMA bukan lagi objek yang tidak tahu apa-apa. Mereka subjek yang telah memiliki segudang pengetahuan. Sering guru tidak menyadari itu. Anggapan yang menyatakan bahwa siswa adalah pelajar, orang yang harus belajar, melekat begitu kuat. Sebaliknya, guru seolah tidak perlu belajar lagi.

Seharusnya, guru mengenali siswa sebagai subjek yang memiliki talenta tertentu yang bisa berkolaborasi dengan guru. Guru harus menjadi fasilitator yang menjembatani ketertarikan siswa dalam belajar.

Jika kondisi begitu bisa terjadi, bukan tidak mungkin siswa yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu akan mengajarkan apa yang dia ketahui. Sikap saling menerima, hubungan yang terbuka, dan kolaborasi yang baik akan menghasilkan simbiosis mutualisme.

Misalnya, guru musik boleh mengajarkan teori dan cara bermain musik. Namun, siswa juga boleh mengasah kreativitas sesuai permainan musiknya. Guru belajar tentang kemampuan siswa dan siswa belajar menerima arahan guru. Demikian pula, guru komputer bisa saja belajar tentang program-program baru dari siswa.

Tentu, kondisi begitu hanya mungkin terjadi jika guru menerapkan pola pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) atau pembelajaran kontekstual (contextual learning). Interaksi antara guru dan murid tidak dijalin dengan komunikasi yang kaku antara "orang yang serbatahu" dan "anak yang tidak tahu apa-apa".

Kalau kita mau jujur, guru dituntut mengalami dan membuat perubahan. Sebab, guru sesungguhnya adalah generation changer. Usia boleh tua, pengalaman yang dimiliki mungkin segudang pula. Namun, segudang pengalaman itu seharusnya diimbangi dengan segudang pengetahuan yang harus selalu di-upgrade, diperbarui, dan dikomunikasikan dengan siapa saja. Ibarat komputer, casing boleh lama, tapi software dan hardware-nya harus selalu di-upgrade. Moto seperti long life learner, never stop to learn, atau risk taker harus menjadi andalan guru dalam menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

Cara yang perlu dilakukan sebenarnya mudah. Pertama, guru harus siap untuk terus belajar. Kedua, mau belajar dari apa saja, bisa buku, sekolah, internet, termasuk dari siswa. Ketiga, berani membuat forum sharing yang berisi evaluasi diri. Keempat, bekali diri dengan keahlian yang tiap tahun bertambah. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 19 Maret 2009

1 komentar: