web 2.0

Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Sastra, Masih Perlukah?

Oleh : Suhariyadi, Guru SMA PGRI 3 Tuban

Modernisasi, konon, telah mengubah pola pikir, pola hubungan sosial, pola konsumsi, dan pola pandang manusia terhadap kehidupannya. Zaman modern telah membawa perubahan sosial budaya manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai agen modernisasi telah menciptakan kemudahan bagi peradaban. Apa yang dulu cuma impian sekarang menjadi kenyataan. Jarak yang dulu membentang jauh sekarang begitu dekat. Apa yang dulu sulit sekarang menjadi mudah.

Modernisasi menjanjikan kemuliaan bagi manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjanjikan kebahagiaan. Era revolusi industri di abad lampau bahkan menyebut dunia modern sebagai surga dunia. Mana ada negara yang menolak modernisasi? Mana ada masyarakat yang enggan teknologi?

Pendidikan modern menjadi lembaga yang mewujudkan semua itu. Manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan. Sekolah-sekolah didirikan. Output mereka adalah penerus dan pengembang zaman modern. Modernisasi harus diteruskan.

Lantas, masih pentingkah sastra di tengah hiruk-pikuk kebudayaan modern itu? Persoalannya bukan penting atau tidak. Semua hal di dunia, yang positif, pasti penting. Semua bidang kehidupan yang diciptakan manusia pada hakikatnya dibutuhkan. Begitu pula dengan sastra. Bidang ini punya peran dan fungsinya sendiri.

Yang mesti dipersoalkan adalah dasar pemikiran dan paradigma bidang sastra itu dalam kehidupan masyarakat. Di mana pun dan kapan pun, kesusastraan pasti ada. Sesederhana dan seprimitif apa pun suatu masyarakat, ada kesusastraan. Seolah, kesusastraan merupakan kodrat yang melekat pada manusia. Sastra merupakan takdir yang tidak mungkin ditolak manusia. Ia mesti terjadi dan dijadikan manusia. Sebab, dia lahir dari intuisi dan naluri manusia.

Jika komunitas binatang memiliki naluri dan intuisi untuk makan, manusia memiliki intuisi dan naluri berkesenian. Manusia adalah makhluk estetis. Dalam individualitas dan kolektivitasnya, manusia memiliki kebutuhan akan estetika. Keindahan tak akan pernah lepas dari kebenaran dan kebaikan dalam diri manusia. Manusia akan mengejarnya. Manusia membutuhkannya. Kapan pun, di mana pun.

Manusia mesti humanis. Humanisme tidak akan pernah dimiliki makhluk lain. Sungguh suatu bencana bila manusia mengalami kemunduran humanisme. Sifat dan kehakikian manusia terletak pada humanisme itu. Ia berada dalam karakteristik dan kesadaran akan kemanusiaan. Tak akan ada manusia tanpa humanisme.

Ibarat kompas, humanisme adalah pedoman yang menuntun manusia pada arah yang benar. Ia self control dalam kehidupan. Manusia berbuat sebagai manusia karena dalam dirinya ada humanisme. Manusia menata dunianya yang lebih manusiawi karena humanisme. Manusia bertindak, berpikir, berpandangan, dan berinteraksi lebih bijak, peka, dan manusiawi karena humanisme.

Sastra merupakan bagian dari perwujudan humanisme manusia. Di dalam sastra, bermekaran intuisi, naluri, imajinasi, estetika, religi, kolektivitas kesadaran, dan pandangan dunia manusia. Semua itu menjadikan manusia lebih utuh sebagai manusia, lebih dari manusia sebagai agen teknologi yang menciptakan mesin-mesin yang kelak mengubah dirinya.

Jadi, harus ada yang memedomani manusia. Harus ada yang mengontrol modernisasi agar manusia tetap memiliki humanisme. Modernisasi harus tetap berkarakter manusia, yaitu humanis. Di sinilah pentingnya pendidikan sastra dalam menciptakan manusia yang humanis. Menjadikan modernisasi sebagai impian manusia yang lebih humanis, kenapa tidak? (soe)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 16 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar