web 2.0

Jumat, 20 Maret 2009

Agar Kesulitan Belajar Tak Berkepanjangan

Oleh : Karti Tuhu Utami, SMP Negeri 1 Bangil, Pasuruan

Makanan dimakan, badan jadi sehat dan kuat. Ilmu pengetahuan dipelajari, pikiran jadi cerdas dan cermat. Makanan bisa masuk ke perut melalui mulut dan tenggorokan. Ilmu pengetahuan masuk ke pikiran melalui mata membaca. Siswa yang tidak mau/sulit makan rawan terserang penyakit karena mungkin kekurangn gizi yang dibutuhkan organ tubuh. Bagaimana bila siswa tidak mau belajar? Jelas, siswa menjadi tidak cerdas dan cermat.

Saat perut lapar, anak tak perlu menunggu perintah orang lain untuk mengisi perut. Bagaimana bila pikiran yang lapar? Seharusnya, siswa segera melakukan kegiatan belajar/membaca tanpa menunggu perintah guru atau orang tua.

Bagi sebagian siswa yang rutin makan, kebutuhan gizinya terpenuhi, tapi kadang masih terserang penyait juga. Demikian pula siswa. Meski sudah belajar tiap hari, ada yang tetap tidak cerdas. Itu yang disebut kesulitan belajar.

Pada dasarnya, tiap siswa mendapatkan kesempatan untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Kenyataannya, siswa memang berbeda-beda dalam kemampuan intelektual, kemampuan fisik, status sosial, kebiasaan membaca, serta pendekatan belajar.

Di sisi lain, perjalanan pendidikan di sekolah umumnya hanya ditujukan pada siswa yang memiliki kemampuan rata-rata. Siswa yang berkemampuan di atas atau di bawah rata-rata sering terabaikan. Di sinilah muncul istilah kesulitan belajar (learning difficulty).

Umumnya, kesulitan belajar siswa disebabkan hal-hal berikut. Pertama, faktor intern siswa, mencakup gangguan/kekurangmampuan psiko-fisik siswa. Itu bisa meliputi kognitif/ranah cipta (rendahnya inteligensi), afektif/ranah rasa (labilnya emosi dan sikap), dan psikomotor/ranah karsa (gangguan indra penglihatan dan pendengaran).

Kedua, faktor ekstern siswa, mencakup semua kondisi lingkungan sekitar yang dapat mendukung aktivitas belajar. Misalnya, lingkungan keluarga (kehidupan orang tua kurang harmonis atau rendahnya ekonomi), lingkungan masyarakat (perkampungan kumuh, teman sepermainan nakal), serta lingkungan sekolah (lokasi sekolah dekat pasar/tempat pembuangan sampah, guru kurang mendukung, sarana sekolah tidak memadai). (Muhibbin Syah, 2005: 173-174)

Menghadapi siswa kesulitan belajar, guru seharusnya melakukan diagnostik (upaya mengenal gejala awal dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kesulitan belajar siswa. Dengan demikian, guru bisa secara tepat menetapkan jenis penyakitnya (kesulitan belajar).

Salah satu diagnostik yang bisa dilakukan guru adalah prosedur Weerner dan Senf (1982). Sebagaimana dikutip Wardani (1991), prosedur itu meliputi observasi kelas (melihat perilaku aneh siswa dalam proses pembelajaran), memeriksa penglihatan dan pendengaran (khususnya yang diduga kesulitan belajar), wawancara dengan wali untuk mengetahui asal mula kesulitan belajar siswa. Langkah lainnya memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar serta memberikan tes kemampuan inteligensi (IQ) khusus bagi siswa yang diduga kesulitan belajar.

Setelah semua dilakukan, guru bisa menganalisis hasil diagnosisnya, menentukan kecakapan bidang yang bermasalah, menyusun program perbaikan, dan terakhir melaksanakan program perbaikannya. Guru seyogianya juga bekerja sama dengan guru BP dalam menangani kesulitan belajar siswa di sekolah. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Kamis, 19 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar