web 2.0

Jumat, 20 Maret 2009

Mengolaborasikan Pembelajaran SMA-SMK

Oleh: Suwati, Guru SMKN I Kota Mojokerto

PROGRAM pembelajaran untuk tingkat lanjutan atas dialokasikan pada orientasi yang berbeda, yakni SMA dan SMK. Kebutuhan masyarakat pada pola pembelajaran di sekolah lanjutan memang bermacam-macam. Namun, setidaknya, ada dua poin utama yang menentukan pilihan bersekolah. Yakni, menjangkau pendidikan lebih lanjut dan langsung menjangkau pekerjaan.

Tentu, tidak mungkin kedua aspek tersebut dijangkau oleh satu institusi. Karena itu, didirikanlah sekolah umum dan sekolah khusus atau sekolah kejuruan. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Namun, kondisi itu ternyata belum dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Lulusan SMA yang tidak mampu meneruskan jenjang pendidikan harus memasuki dunia kerja. Mereka harus bekerja karena ketiadaan kesempatan belajar lebih lanjut, baik karena biaya atau gagal dalam ujian masuk. Padahal, mereka tidak berbekal keterampilan untuk bekerja.

Di sisi lain, tidak sedikit lulusan SMK yang ingin mengikuti ujian masuk ke jenjang pendidikan lebih lanjut. Mereka belajar mati-matian untuk menguasai materi pelajaran yang dirasakan kurang saat belajar di SMK. Mereka menambah kemampuan teoretis dengan mengikuti pembelajaran khusus, bimbel, atau sebangsanya. Itu membuat mereka harus mengeluarkan biaya ekstra agar menguasai materi belajar sekolah umum.

Karena itu, seharusnya dimunculkan proses pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan siswa SMA dan SMK. Program pembelajaran ini dikondisikan agar kebutuhan teknis siswa SMA terpenuhi, demikian juga kebutuhan teoretis siswa SMK.

Pembelajaran kolaboratif bisa dianggap alternatif solusi untuk menciptakan intergralistik program antara SMA dan SMK. Program pembelajaran kolaboratif disusun sedemikian rupa sehingga siswa SMK dapat mengikuti pembelajaran keterampilan, aspek psikomotor yang tidak diperoleh secara maksimal di SMA. Sebaliknya, siswa SMK dapat mengikuti proses pembelajaran adaptif di SMA.

Untuk kelancaran program ini, diperlukan kerja sama yang solid untuk mengatur teknik pelaksanaan kegiatan. Terutama, berkaitan dengan waktu pelaksanaan dan jumlah siswa yang mengikuti program pembelajaran. Waktu terkait dengan jadwal belajar di masing-masing sekolah. Jika waktu yang diterapkan tidak tepat, akan terjadi benturan. Jumlah peserta juga perlu dialokasikan agar program berjalan efektif. Sebagai program kolaboratif, kualitas jauh lebih diutamakan daripada kuantitas.

Pada jadwal yang sudah disusun, siswa SMA belajar di SMK, khususnya di bengkel. Mereka diberi bekal keterampilan aplikatif dengan kurikulum implementatif, yang diadaptasi dari kegiatan teknik yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian, siswa SMA punya bekal keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan.

Program pembelajaran kolaboratif yang dijalani siswa SMK adalah proses pembelajaran selayaknya siswa SMA. Mereka dibekali pengetahuan sehingga mampu bersaing memperebutkan bangku kuliah dan dapat melanjutkan proses pembelajaran di tingkat lebih lanjut.

Bila terjalin kerja sama yang baik antara SMA dan SMK, asumsi bahwa SMK adalah sekolah kelas dua dapat dianulir. Yang terpenting, terakomodasinya kebutuhan masing-masing pihak sehingga anak didik dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukankah itu yang kita usahakan dalam proses pembelajaran? Kita memberikan hal terbaik yang dibutuhkan anak didik agar tidak kesulitan saat berhadapan dengan kehidupan yang sesungguhnya. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 20 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar