web 2.0

Selasa, 10 Maret 2009

Sejarah Harus (Tidak) Seragam

Oleh : Sri Amaljati, Guru SMAN Gading, Probolinggo

Banyak guru sejarah yang kurang mengembangkan model pembelajaran. Akibatnya, siswa sering menjuluki guru sejarah dengan predikat guru pengantar tidur, tukang mendongeng, membosankan, dan lain-lain. Julukan-julukan seperti itu mestinya menjadi cambuk bagi guru sejarah. Itu kritik yang amat membangun.

Kita kenal wadah komunikasi untuk para guru mata pelajaran. Namanya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Kegiatannya, antara lain, membuat RPP, silabus, dan ajang cerita pengalaman pribadi yang berkaitan dengan situasi di sekolah, di rumah, dan lain-lain.

Dari kegiatan-kegiatan tersebut, MGMP membuat RPP yang disusun bersama dalam kelompok tertentu. Misalnya, Ibu Ani membuat RPP kelas X dengan KD historiografi, Bapak Budi membuat RPP kelas XI dengan KD lain. Konsekuensi pembagian tugas tersebut, bapak/ibu guru membuat RPP sesuai kondisinya, baik kondisi pribadi maupun lingkungan sekolah.

Persoalannya, samakah lingkungan sekolah di tempat Ibu Ani dengan Bapak Budi? Tentu tidak. Karena itu, MGMP yang umumnya menghasilkan produk berupa RPP mestinya mengupayakan inovasi dan renovasi. Inovasi berasal dari guru. Renovasi harus dilakukan karena RPP produk MGMP jelas tidak mutlak bisa diterapkan di lingkungan semua guru.

Dengan kenyataan tersebut, dalam menyampaikan mata pelajaran sejarah, guru harus pandai-pandai memilih metode yang cocok untuk sekolahnya, bukan metode yang ada dalam RPP MGMP. Guru sejarah harus benar-benar menguasai kemampuan/kualifikasi sebagai pendidik sejarah. Jika tiap guru sejarah mampu melakukan berbagai inovasi dalam RPP dan pembelajaran, dia pasti paham betapa ''sejarah tidak harus seragam".

Pengajaran sejarah di tingkat SMA menekankan aspek nilai. Tujuan akhirnya membentuk generasi muda yang memiliki nilai nation and character building kukuh. Di sisi lain, perkembangan teknologi sangat mungkin menggoyahkan semangat nasionalisme. Melalui internet, siswa mampu mencari segala informasi yang dia mau, bahkan melebihi gurunya. Ambil contoh, silang pendapat tentang supersemar, peristiwa G 30 S/PKI, dan lain-lain. Siswa bisa tahu banyak tentang hal tersebut dan bertanya sesuai batas imajinasi mereka. Padahal, imajinasi siswa umumnya amat tinggi.

Di sinilah peran guru sejarah benar-benar diuji. Ambil contoh, kurikulum yang kadang berseberangan dengan pengetahuan yang didapat siswa di internet. Guru sejarah kadang bimbang harus menjawab bagaimana agar siswa puas, tetapi "nilai" tetap tersampaikan dan tertanam dalam jiwa siswa. Untuk itu, guru sejarah harus mengubah paradigma lama.

Guru sejarah adalah guru yang menanamkan nilai-nilai historis untuk mewujudkan generasi yang memiliki nation and character building, bukannya doktrinasi atas suatu rezim. Biarkan siswa mencari tahu sejarah entah ke mana. Namun, kita sebagai guru sejarah harus bisa menggiring siswa kepada fakta yang terjadi dengan sesungguhnya.

Kita tunjukkan fakta itu, silakan siswa menilai. Kalau ini kita lakukan, pasti sejarah akan beragam. Kita latih siswa untuk berlapang dada dalam keberagaman sejarah dan keseragaman sejarah bangsanya. Dengan begitu, kelak, di masa depan, mereka tidak akan gagap menghadapi perbedaan dan keberagaman. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 10 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar