web 2.0

Senin, 09 Maret 2009

Menakar Nilai Pembelajaran Menulis

Oleh Istikoma, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA PGRI 1, Kota Mojokerto

Sebagai salah satu keterampilan berbahasa (selain membaca, berbicara, dan menyimak), menulis merupakan ranah paling signifikan untuk mengukur kemampuan siswa. Bahkan, ada pemeo yang mengatakan bahwa ketinggian derajat budaya suatu bangsa dapat diukur dari seberapa banyak buku yang telah ditulis oleh orang-orang yang hidup di negara tersebut.

Amboi! Jika itu benar, kita mungkin perlu mengurut dada. Sebab, menilik pertumbuhan di negeri ini dibandingkan sesama negara Asia Tenggara (apalagi negara maju), kita mungkin harus berlapang menerima sebutan negara yang jauh dari berbudaya.

Menulis, dari segi perolehan dan pembelajaran bahasa, umumnya berada pada tingkat terakhir. Seseorang yang sedang belajar berbahasa awalnya memulai dengan aktivitas mendengarkan bunyi-bunyi bahasa. Lalu, berkembang menjadi berbicara melalui proses menirukan, baru mengenal kegiatan membaca dan menulis. Tanpa pembelajaran menulis yang efektif di sekolah, mustahil kita bisa menciptakan penulis-penulis besar yang mengangkat khazanah budaya bangsa.

Menulis adalah proses yang melalui beberapa tahap. Tahap paling sederhana dalam menulis dapat kita klasifikasi menjadi tiga lingkup. Pertama, tahap prapenulisan meliputi penentuan topik tulisan, penentuan tujuan tulisan, dan pemilihan bahan tulisan. Kedua, tahap penulisan meliputi pemilihan kata, penyusunan kalimat dan paragraf, serta penerapan teknik menulis. Ketiga, tahap perbaikan meliputi perbaikan pada tahap buram dan perbaikan pada tahap pembacaan ulang.

Tiga tahap tersebut adalah langkah kerja yang pasti dilakukan siswa ketika melaksanakan praktik pembelajaran menulis. Baik pembelajaran menulis surat resmi, pembelajaran menulis artikel atau karya ilmiah, pembelajaran menulis pengalaman sehari-hari, pembelajaran menulis cerita pendek, maupun pembelajaran menulis puisi, pasti melalui tahap tersebut.

Karena itu, kriteria penilaian dalam pembelajaran menulis harus melibatkan tahap-tahap tersebut. Penilaian bukan semata bertumpu pada hasil akhir, ketika sebuah karya lahir dari tangan siswa. Penilaian mesti meliputi tahap-tahap pencapaian yang telah dilakukan siswa. Yakni, prapenulisan, penulisan, perbaikan, dan penulisan kembali.

Guru harus memberikan tugas menulis secara spesifik kepada siswa. Jangan sampai guru memberikan tugas menulis berdasar jumlah kata atau halaman. Misalnya, menulis pengalaman sehari-hari sebanyak satu lembar folio. Dampaknya, siswa ''kejar setoran" dengan membesarkan huruf agar kertas folionya lekas penuh. Guru harus menjelaskan tahap-tahap yang harus dilakukan dan dicapai siswa dalam menulis. Penilaian yang bertumpu pada spesifikasi tugas menulis dan pencapaian tahap dalam menulis sebagai kriteria penskoran merupakan bentuk penilaian otentik.

Ada jenis kriteria penilaian yang disebut penskoran analisis. Kriteria itu merujuk pada skala analisis yang menjadi patokan nilai keseluruhan. Skala yang digunakan untuk ranah skor adalah 4 untuk kontrol yang konsisten, 3 untuk kontrol rasionalitas, 2 untuk kontrol ketidakkonsistenan, dan 1 untuk sedikit atau tidak memiliki kontrol. Dalam tiap skala ranah skor itu, terdapat aspek pengamatan yang meliputi komposisi, gaya, formasi kalimat, penggunaan unsur-unsur kebahasaan, dan mekanika penulisan.

Selain penilaian oleh guru, penilaian menulis bisa dilakukan oleh teman sebaya (peer assesment) dan oleh penilaian diri sendiri (self-assesment). Bila diamati, mungkin cara penilaian tersebut akan menambah beban guru. Namun, bukan berarti penilaian itu tidak bisa atau tidak perlu dilakukan.

Penilaian semacam itu merupakan tantangan bagi guru untuk meningkatkan kinerja. Bukankah sejarah mencatat bahwa melalui tulisanlah tonggak sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan lahir dan berkembang? Melalui pengabdian tangan-tangan para gurulah, tonggak tersebut dapat berdiri kukuh atau tumbang. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 09 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar