web 2.0

Minggu, 15 Maret 2009

Seni Budaya Benteng Terakhir

Oleh: Iman Suligi, Guru SMKN 3 Jember

PROFIL generasi yang kita harapkan sangat dipengaruhi model pendidikan yang diselenggarakan. Di tengah kompetisi global yang gemuruh, kita terlena. Sebab, riaknya tak terasa di permukaan. Keseharian kita yang serbadamai, tenteram, dan rukun membuat kita merasa everything is ok. Mereka yang serius dan dalam banyak hal berbeda serta melawan arus merasa kesepian.

Banyak instansi diam-diam menjadi legitimator hal-hal instan. Empati, imajinasi, dan kreativitas tereduksi oleh sikap-sikap pragmatis. Konsumerisme yang membelit-menggurita menularkan wabah materialisme dan hedonisme. Dedikasi pun luntur seiring dengan maraknya sikap oportunis atau aji mumpung. Kita pun bagai tersengat kalajengking ketika tiba-tiba kedahuluan oleh bangsa-bangsa yang dulu belajar dari kita dan mencak-mencak tanpa mau mawas diri.

Mata pelajaran seni budaya menyiratkan sebuah kesadaran akan gawatnya kondisi itu meski munculnya agak sedikit kesiangan. Itu pun masih ada godaan, jangan-jangan nanti berubah lagi. Untuk itu, saat ini perlu dilihat bagaimana implementasinya di lembaga pendidikan setelah kurang lebih dua tahun dicanangkan. Beberapa masalah yang dihadapi sekolah terkait hal tersebut adalah keberadaan guru seni budaya dalam berbagai cabang seni, buku, dan sarana. Masalah itu sebetulnya tidak berbeda dengan yang dialami mata pelajaran lainnya. Cara penyikapannya saja yang mungkin berbeda.

Jika sekolah memiliki komitmen besar terhadap masalah tersebut, berarti selalu ada solusi tanpa mengorbankan hakikat pentingnya mata pelajaran seni budaya dalam format kurikulum di sekolah. Karena pada dasarnya mata pelajaran ini bukan pendidikan bakat tetapi sarana pembentukan kepribadian, pencerdasan, dan pengembangan diri, seyogianya seorang siswa memperoleh materi semua cabang seni. Dengan begitu, yang diharapkan kurikulum akan tercapai. Yakni, terbentuknya kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, dan naturalis. Tak ketinggalan, kecerdasan adversitas (AQ), kreativitas (CQ), spiritual dan moral (SQ) terakomodasi lewat cabang seni yang memiliki karakteristik berbeda.

Menyadari makna penting dari muatan seni budaya yang masih gres itu, mata pelajaran tidak boleh gagal dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Sekolah harus memosisikannya sedemikian rupa dan mampu menampakkan hasil nyata, baik dalam karya maupun sikap siswa. Untuk menyikapinya, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan.

Pertama, menyajikan semua cabang seni yang ada agar anak secara komprehensif memiliki wawasan dan pengalaman lebih luas. Model penyajiannya pun bisa dibuat dengan berbagai pendekatan. Yakni, sistematis, kronologis, atau tematis. Kedua, mengatasi kekurangan guru dengan melakukan pertukaran guru dengan sekolah lain/lembaga lain atau membentuk tim teaching.

Ketiga, menyediakan sarana seni berupa galeri dan pentas baik secara khusus maupun memanfaatkan apa yang ada secara kreatif. Pemanfaatan ruang maya dengan membuka blog di internet sebagai ruang pajang bisa memberikan nilai tambah bagi sekolah. Yakni, bisa dikunjungi sekolah lain setiap saat. Komitmen terhadap masa depan anak bangsa harus diteguhkan, dan mata pelajaran seni budaya adalah benteng moral bagi identitas diri. (oki)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 15 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar