web 2.0

Minggu, 15 Maret 2009

Malaikat Pendidikan Masih Ada

Oleh: Justina T. Jatmanti, Guru SMAK St Yusuph, Surabaya

KISAH guru yang dilaporkan kepada aparat kepolisian karena ''menganiaya'' siswa semakin marak menghiasi media. Kenyataan itu mempertajam menguatnya kesadaran siswa dan orang tua atas hak asasi manusia. Meski demikian, penyebab tindak kekerasan guru belum tentu karena ketidakmampuan mereka menangani siswa yang harus diakui kini tercerabut dari akar budaya masyarakat kita.

Fenomena itu mungkin mengisyaratkan parahnya kondisi masyarakat kita. Masyarakat yang dalam pengamatan George Bataille (Literature and Evil, 1990) terjebak dalam hipermoralitas. Suatu kondisi ketika tatanan dan patokan moralitas tidak dapat dipegang lagi karena masyarakat berkembang melampaui batas-batas baik dan buruk.

Keseharian kita memang menghadapi dekadensi moral yang mengaburkan batas-batasnya. Keluarga bukan lagi institusi peneduh bagi anggota keluarga. Rumah menjadi tempat persinggahan. Pagi orang tua pergi ke kantor dan kembali ke rumah tidak berdaya. Nyaris tidak punya waktu untuk anak-anak. Anak-anak yang tidak terurus menetapkan standar dan orientasi hidup sendiri; hidup kaya, tamat sekolah mudah, dan mati masuk surga.

Dinamika sosial mengajarkan mereka bahwa kapabilitas intelektual dan integritas pribadi tidak berbanding lurus dengan keberhasilan. Surat izin mengemudi (SIM) dapat diperoleh berkat uang dan calo. Naik pangkat di kantor lebih mempersyaratkan sikap menjilat. Bisa juga suap. Anak-anak itulah yang masuk ke sekolah kita tanpa tes, tetapi dituntut harus lulus oleh penyelenggara pendidikan.

Kita juga menyaksikan koruptor merajalela. Pengusutan dan proses pengadilannya tidak jelas. Ada kesan, semakin besar korupsi, semakin banyak privilese mereka nikmati. Dunia pendidikan memperlihatkan betapa faktor senang dan tidak senang dapat memengaruhi kenaikan pangkat dan golongan mereka dan ujung-ujungnya pendapatan. Mereka pun tahu kepala sekolah menyelewengkan dana sekolah, tetapi tidak ada yang berani berbicara ketika masa depan keluarganya dipertaruhkan.

Para siswa yang tumbuh bebas dalam masyarakat yang tanpa keteladanan itu dibina para guru. Akibatnya, konflik menjadi tidak terhindarkan. Terlepas dari sejumlah kasus yang menyedihkan, para guru sebetulnya lebih menampilkan diri sebagai malaikat dalam masyarakat kita yang sakit dan rusak.

Malaikat di bumi, dalam refleksi Daniel Goleman (Social Intelligence, 2000), adalah orang-orang yang bersedia hadir bagi orang lain ketika banyak orang menutup pintu hati di balik rasionalisasi kesibukan. Dengan demikian, guru bukan sekadar profesi, tetapi keinginan perjuangan untuk hadir bagi orang-orang; sikap altruisme.

Altruisme merupakan kombinasi perilaku tidak berpusat pada diri sendiri. Oliner dan Oliner (1988) merincinya berdasar lima variabel kunci. Yang pertama dan terpenting, orang altruis tidak sekadar melayani. Tetapi, penuh tanggung jawab diikuti sikap sosialisasi yang baik, penuh kompromi, toleran, mampu mengontrol diri, dan ingin memberikan kesan baik kepada orang yang ditolongnya.

Kedua, orang altruis berempati dan percaya terhadap adanya dunia yang adil, meski dunia keseharian mereka bukan yang nyaman menyenangkan. Ketiga, orang altruis membuktikan diri secara sosial bertanggung jawab. Keempat, mereka memiliki kemampuan mengontrol diri. Akhirnya, mereka yang altruis mencirikan sikap egosentris yang rendah. Semakin rendah sikap memusatkan diri memungkinkan orang untuk keluar membantu orang lain.

Banyak lembaga pendidikan kita yang gamblang menghadirkan para malaikat. Mereka mempersiapkan masa depan siswa, meski masa depan mereka diabaikan pimpinan. Mereka mengorangkan siswa sebagai manusia utuh, meski mereka tidak dihargai utuh oleh pimpinan. Kehangatan respons mereka tetap melimpah dari keyakinan bahwa masih ada dunia adil yang pantas didambakan di tengah carut-marut kehidupan. Semoga! (oki)

Sumber:
Jawa Pos, Minggu, 15 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar