web 2.0

Jumat, 20 Maret 2009

Belajar Fiksi dengan Memperkaya Imaji

Oleh : Anton Tri Hartono, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Ar Rohmah, Malang

Di sekolah, pelajaran menulis fiksi, baik prosa maupun puisi, cenderung membosankan dan dianggap kurang bermanfaat. Dalam benak siswa, kegiatan menulis fiksi melelahkan dan hanya buang-buang waktu. Sedikit sekali siswa yang menilai menulis sebagai aktivitas menyenangkan sekaligus mempertajam cara berpikir. Seperti dinyatakan Joni Ariadinata, menulis itu sarana latihan logika dan latihan strategi.

Bagi sebagian orang, menulis fiksi itu bakat alam. Padahal, menurut Linus Suryadi, pengertian bakat dalam menulis merupakan usaha keras tak kenal lelah untuk terus menulis. Selain itu, bakat berhubungan dengan motivasi yang kuat untuk intens menulis.

Dalam pembelajaran menulis fiksi, ada metode efektif yang bisa diterapkan. Yakni, pola pendekatan imaji. Menurut para pakar kesusastraan, imaji atau citraan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman pancaindra. Seorang penulis fiksi bisa mengeksplorasi proses kreatifnya berdasarkan pengalaman indra penglihatan, indra pendengaran, indra perasa, indra penciuman, dan indra perabaan. Dengan modal pengalaman lima indra tadi, penulis menjadi "kaya" dalam berproses kreatif karena banyaknya pengalaman yang terekam.

Dalam tataran aplikatif, saat siswa menuliskan pengalaman menyikapi orang kentut, ada kasus siswa membuat untaian kalimat berikut.

Tiba-tiba suasana kelas itu menjadi riuh. Bunyi kentut Adi terdengar keras seperti bunyi petasan. Tidak ada dalam kelas itu yang tak mendengarnya. Semuanya menjerit. Apalagi baunya minta ampun. Mengingatkanku pada bau bangkai tikus yang mati di plafon rumah. Tak ayal, Pak guru langsung mengomel. Seluruh isi kelas menyudutkan teman satu bangkuku ini. Seakan ia adalah aib dan kotoran yang menjijikkan yang harus segera dibuang jauh-jauh.

Dalam contoh tersebut, ada tiga imaji yang terolah. Yakni, imaji pendengaran, imaji penciuman, dan imaji penglihatan.

Keunggulan pendekatan ini adalah tergalinya kekayaan imaji siswa. Siswa berimajinasi secara liar dan alami. Itu akan menjadikan siswa enjoy dalam menulis. Siswa bisa lebih merasakan dan masuk ke dalam karya. Dari sini diharapkan siswa terlahir menjadi manusia yang bebas, kaya pengalaman dan imajinasi, serta bisa menghargai potensi yang diberikan oleh sang Pencipta.

Agar pembelajaran dengan pendekatan ini berhasil, guru harus bisa menjadi inspirator, motivator, dan kreator. Guru harus menjadi inspirasi siswa saat memulai berkarya, membangkitkan motivasi siswa untuk menyelesaikan proses kreatifnya, dan menciptakan suasana berkarya yang menyenangkan sehingga karya siswa terlahir.

Dari faktor siswa, mereka harus intens membaca fenomena di sekelilingnya, baik yang bersumber dari alam maupun buku bacaan. Hal ini akan mendukung ketajaman kualitas karya siswa. Sekarang saatnya menulis fiksi menjadi pelajaran yang menyenangkan. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Rabu, 18 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar