web 2.0

Jumat, 20 Maret 2009

Kecerdasan Spiritual Dongkrak Nilai

Oleh : Titis Juliadi Nugoho, Kepala SDIT Al-Ummah, Jombang

Ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) SD mulai diterapkan pada 2008. Selain untuk pemetaan pendidikan, bentuk penilaian tersebut digunakan sebagai dasar penetapan kelulusan dan seleksi masuk SMP. Dua tujuan terakhir itulah yang sering merisaukan sekolah dan orang tua siswa.

Sekolah sebagai pihak yang diberi amanah oleh orang tua murid merespons tantangan UASBN dengan berbagai strategi. Mengadakan les tambahan, misalnya. Tentu, itu menambah jam belajar siswa, mungkin juga biaya. Bahkan, ada sekolah yang mengarantina siswa pada malam selama UASBN dengan dalih agar siswa dapat belajar secara baik.

Orang tua yang belum puas dengan les tambahan di sekolah mendaftarkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar. Itu masih ditambah tryout, baik yang diadakan sekolah, UPT dinas pendidikan, dinas pendidikan kabupaten, SMP negeri dan swasta sembari promosi, maupun lembaga bimbingan belajar. Semua menambah gegap gempita UASBN dan beban yang dipikul siswa.

Persiapan akademis itu sering membuat sekolah melupakan persiapan mental spiritual siswa. Akibatnya, hasil yang dicapai tidak sesuai harapan.

Ada tiga dasar falsafah pendidikan berbasis kecerdasan spiritual. Pertama, pendidikan harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dan jiwa. Harus disadari bahwa hal-hal yang bersifat fisik berpengaruh besar terhadap proses psikologis. Pada saat yang sama, pikiran memengaruhi proses psikologis dan fisiologis.

Kedua, manusia memiliki kemampuan hampir tanpa batas. Tubuh dan jiwa manusia bisa berkembang jauh lebih tinggi daripada yang kita bayangkan. Pendidikan harus berusaha mengoptimalkan seluruh potensi tersebut.

Ketiga, dimensi mistikal dalam kehidupan manusia harus dikembalikan pada situasi belajar. Agama memberikan jalan sistematis untuk memperoleh pengalaman mistikal dan mengantarkan anak didik pada proses kembali kepada Tuhan yang membimbing mereka.

Pertanyaannya, bagaimana menerapkan itu? Ada tiga metode. Yakni, memaksimalkan pengaruh tubuh terhadap jiwa, memaksimalkan pengaruh jiwa terhadap proses psikofisik dan psikososial, serta bimbingan ke arah pengalaman mistikal.

Metode pertama, memaksimalkan pengaruh tubuh terhadap jiwa bisa dilakukan dengan menata lingkungan fisik yang menyenangkan, penggunaan musik, dan latihan fisik. Dalam kegiatan outbound, misalnya, siswa melakukan latihan fisik yang menantang. Misalnya, bermain jembatan burma, flying fox, atau game kerja sama tim. Keberhasilan siswa dalam permainan itu meningkatkan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa sesulit apa pun masalah, mereka mampu mengatasi, apalagi UASBN.

Metode kedua, memaksimalkan pengaruh jiwa terhadap proses psikofisik dan psikososial bisa dilakukan dengan modeling, menanamkan rasa bangga, berpikir positif. Sebulan menjelang UASBN lalu, kami membacakan buku Laskar Pelangi yang lagi ngetren. Kisah sukses tokoh utama, Ikal yang anak buruh tambang, kami harapkan menjadi model bagi siswa bahwa keberhasilan adalah hak setiap anak. Kisah tragis Lintang yang jenius tapi harus berhenti sekolah lantaran menjadi ayah bagi adik-adiknya, kami harapkan menjadi cambuk penyemangat bagi siswa. Persahabatan antartokoh Laskar Pelangi, kami harapkan memperbaiki atmosfer kelas agar saling mendukung.

Metode ketiga, bimbingan ke arah pengalaman mistikal bisa dilakukan dengan merujuk pada latihan rohani yang diajarkan agama. Menginjak semester genap, sebagai persiapan UASBN, kami menambah jam istirahat bagi siswa guna melaksanakan salat duha dan zikir. Kami juga mengharuskan siswa berinfak dan mengajak mereka memberikan langsung ke panti asuhan sambil minta didoakan.

Kami mengajarkan kekuatan imajinasi dengan meminta siswa membayangkan dirinya sangat pintar dan nilai UASBN tinggi sudah diperoleh. Kami akhiri persiapan UASBN dengan mengundang siswa, orang tua siswa, dan guru untuk mengikuti pelatihan semacam ESQ dengan tema bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Kesalahan dan dosa yang melibatkan guru, orang tua, dan siswa dilebur dengan saling memaafkan dan mengikhlaskan satu sama lain.

Kalau sependapat, silakan dicoba dan lihat apa yang terjadi. Atau, Anda punya pendapat lain? (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Selasa, 17 Maret 2009

Belajar Fiksi dengan Memperkaya Imaji

Oleh : Anton Tri Hartono, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Ar Rohmah, Malang

Di sekolah, pelajaran menulis fiksi, baik prosa maupun puisi, cenderung membosankan dan dianggap kurang bermanfaat. Dalam benak siswa, kegiatan menulis fiksi melelahkan dan hanya buang-buang waktu. Sedikit sekali siswa yang menilai menulis sebagai aktivitas menyenangkan sekaligus mempertajam cara berpikir. Seperti dinyatakan Joni Ariadinata, menulis itu sarana latihan logika dan latihan strategi.

Bagi sebagian orang, menulis fiksi itu bakat alam. Padahal, menurut Linus Suryadi, pengertian bakat dalam menulis merupakan usaha keras tak kenal lelah untuk terus menulis. Selain itu, bakat berhubungan dengan motivasi yang kuat untuk intens menulis.

Dalam pembelajaran menulis fiksi, ada metode efektif yang bisa diterapkan. Yakni, pola pendekatan imaji. Menurut para pakar kesusastraan, imaji atau citraan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman pancaindra. Seorang penulis fiksi bisa mengeksplorasi proses kreatifnya berdasarkan pengalaman indra penglihatan, indra pendengaran, indra perasa, indra penciuman, dan indra perabaan. Dengan modal pengalaman lima indra tadi, penulis menjadi "kaya" dalam berproses kreatif karena banyaknya pengalaman yang terekam.

Dalam tataran aplikatif, saat siswa menuliskan pengalaman menyikapi orang kentut, ada kasus siswa membuat untaian kalimat berikut.

Tiba-tiba suasana kelas itu menjadi riuh. Bunyi kentut Adi terdengar keras seperti bunyi petasan. Tidak ada dalam kelas itu yang tak mendengarnya. Semuanya menjerit. Apalagi baunya minta ampun. Mengingatkanku pada bau bangkai tikus yang mati di plafon rumah. Tak ayal, Pak guru langsung mengomel. Seluruh isi kelas menyudutkan teman satu bangkuku ini. Seakan ia adalah aib dan kotoran yang menjijikkan yang harus segera dibuang jauh-jauh.

Dalam contoh tersebut, ada tiga imaji yang terolah. Yakni, imaji pendengaran, imaji penciuman, dan imaji penglihatan.

Keunggulan pendekatan ini adalah tergalinya kekayaan imaji siswa. Siswa berimajinasi secara liar dan alami. Itu akan menjadikan siswa enjoy dalam menulis. Siswa bisa lebih merasakan dan masuk ke dalam karya. Dari sini diharapkan siswa terlahir menjadi manusia yang bebas, kaya pengalaman dan imajinasi, serta bisa menghargai potensi yang diberikan oleh sang Pencipta.

Agar pembelajaran dengan pendekatan ini berhasil, guru harus bisa menjadi inspirator, motivator, dan kreator. Guru harus menjadi inspirasi siswa saat memulai berkarya, membangkitkan motivasi siswa untuk menyelesaikan proses kreatifnya, dan menciptakan suasana berkarya yang menyenangkan sehingga karya siswa terlahir.

Dari faktor siswa, mereka harus intens membaca fenomena di sekelilingnya, baik yang bersumber dari alam maupun buku bacaan. Hal ini akan mendukung ketajaman kualitas karya siswa. Sekarang saatnya menulis fiksi menjadi pelajaran yang menyenangkan. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Rabu, 18 Maret 2009

Mengangkat Daya Kompetitif Sekolah

Oleh Yudha Cahyawati, Guru SMA Negeri 10 Surabaya

Kehadiran sekolah asing di Indonesia tidak bisa dielakkan. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari adanya arus globalisasi. Di era seperti ini, satu hal yang menjadi barang mahal adalah daya kompetitif. Aspek ini menjadi faktor dominan dalam menghadapi persaingan global di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Hanya sekolah yang memiliki nilai dan daya kompetitif tinggi yang bisa bertahan.

Harus diakui, kualitas pendidikan dan SDM kita masih kalah dengan sekolah atau SDM asing seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan, kita masih di bawah Vietnam.

Gencarnya promosi sekolah atau perguruan tinggi asing ke Indonesia bisa dianggap cermin rendahnya kualitas pendidikan domestik kita. Karena itu, promosi sekolah asing mestinya dijadikan tantangan dan motivasi bagi sekolah domestik untuk melakukan perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan sehingga bisa bersaing.

Saat ini yang harus kita garap serius adalah perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan. Lahirnya kualitas pendidikan sangat dipengaruhi dua aspek. Yakni, sistem (pendidikan) dan manusia. Pembangunan sistem dan manusia harus sejalan atau sinergis. Pembangunan dua aspek itu harus dilandasi nilai dan daya jual yang unggul dan kompetitif.

Selama ini, sistem pendidikan kita masih dalam konteks transfer of knowledge belum pada tataran transfer of values. Akibatnya, produk-produk pendidikan kita hanya menghasilkan manusia-manusia yang berpengetahuan. Praktis, pendidikan kita tak punya nilai kompetitif.

Di sisi lain, pendidikan juga membelenggu kita dalam realitas-realitas yang dikonstruksi negara sebagai penguasa tunggal. Para konsumen pendidikan tidak pernah dihadapkan pada ruang argumentatif. Mereka lebih dihadapkan pada situasi yang monologis dan top down. Bahkan, pendidikan sering tidak senapas dengan realitas sosial masyarakat.

Untuk itu, pendidikan harus mulai membangun relasi sosial dengan perkembangan masyarakat, baik lokal maupun global. Dengan demikian, pendidikan benar-benar bisa menjadi jawaban atas kebutuhan manusia dan masyarakat global. Pendidikan harus menjadi media pencerahan yang dialogis, konstruktif, dan mampu menghasilkan SDM yang tidak hanya memiliki tingkat intelektual dan keterampilan, tapi juga moralitas dan nilai kompetitif yang unggul.

Paradigma think globally, act locally harus menjadi pijakan dalam pengembangan sistem pendidikan kita ke depan. Keterbelakangan pendidikan kita antara lain disebabkan kita tak pernah membuka mata dan jendala dunia untuk mencari sesuatu yang baru dan inovatif serta positif bagi pengembangan kualitas pendidikan. Sikap dan budaya konservatif masih tumbuh dalam diri dan institusi pendidikan kita, sehingga kita sulit berkembang dan maju.

Berpikir global berarti kita dituntut berwawasan luas dan terus mencari gagasan dan terobosan baru dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas. Itu tidak dibatasi ruang dan waktu. Pengetahuan, ilmu, dan pikiran global konstruktif tersebut kita implementasikan dalam tindakan lokal di lingkungan pendidikan masing-masing.

Kita harus mulai berbenah dan berubah, baik dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Diharapkan muncul SDM-SDM yang berdaya guna, berkualitas, dan bernilai kompetitif tinggi yang siap bersaing dengan SDM atau sekolah asing. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 18 Maret 2009

Agar Kesulitan Belajar Tak Berkepanjangan

Oleh : Karti Tuhu Utami, SMP Negeri 1 Bangil, Pasuruan

Makanan dimakan, badan jadi sehat dan kuat. Ilmu pengetahuan dipelajari, pikiran jadi cerdas dan cermat. Makanan bisa masuk ke perut melalui mulut dan tenggorokan. Ilmu pengetahuan masuk ke pikiran melalui mata membaca. Siswa yang tidak mau/sulit makan rawan terserang penyakit karena mungkin kekurangn gizi yang dibutuhkan organ tubuh. Bagaimana bila siswa tidak mau belajar? Jelas, siswa menjadi tidak cerdas dan cermat.

Saat perut lapar, anak tak perlu menunggu perintah orang lain untuk mengisi perut. Bagaimana bila pikiran yang lapar? Seharusnya, siswa segera melakukan kegiatan belajar/membaca tanpa menunggu perintah guru atau orang tua.

Bagi sebagian siswa yang rutin makan, kebutuhan gizinya terpenuhi, tapi kadang masih terserang penyait juga. Demikian pula siswa. Meski sudah belajar tiap hari, ada yang tetap tidak cerdas. Itu yang disebut kesulitan belajar.

Pada dasarnya, tiap siswa mendapatkan kesempatan untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Kenyataannya, siswa memang berbeda-beda dalam kemampuan intelektual, kemampuan fisik, status sosial, kebiasaan membaca, serta pendekatan belajar.

Di sisi lain, perjalanan pendidikan di sekolah umumnya hanya ditujukan pada siswa yang memiliki kemampuan rata-rata. Siswa yang berkemampuan di atas atau di bawah rata-rata sering terabaikan. Di sinilah muncul istilah kesulitan belajar (learning difficulty).

Umumnya, kesulitan belajar siswa disebabkan hal-hal berikut. Pertama, faktor intern siswa, mencakup gangguan/kekurangmampuan psiko-fisik siswa. Itu bisa meliputi kognitif/ranah cipta (rendahnya inteligensi), afektif/ranah rasa (labilnya emosi dan sikap), dan psikomotor/ranah karsa (gangguan indra penglihatan dan pendengaran).

Kedua, faktor ekstern siswa, mencakup semua kondisi lingkungan sekitar yang dapat mendukung aktivitas belajar. Misalnya, lingkungan keluarga (kehidupan orang tua kurang harmonis atau rendahnya ekonomi), lingkungan masyarakat (perkampungan kumuh, teman sepermainan nakal), serta lingkungan sekolah (lokasi sekolah dekat pasar/tempat pembuangan sampah, guru kurang mendukung, sarana sekolah tidak memadai). (Muhibbin Syah, 2005: 173-174)

Menghadapi siswa kesulitan belajar, guru seharusnya melakukan diagnostik (upaya mengenal gejala awal dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kesulitan belajar siswa. Dengan demikian, guru bisa secara tepat menetapkan jenis penyakitnya (kesulitan belajar).

Salah satu diagnostik yang bisa dilakukan guru adalah prosedur Weerner dan Senf (1982). Sebagaimana dikutip Wardani (1991), prosedur itu meliputi observasi kelas (melihat perilaku aneh siswa dalam proses pembelajaran), memeriksa penglihatan dan pendengaran (khususnya yang diduga kesulitan belajar), wawancara dengan wali untuk mengetahui asal mula kesulitan belajar siswa. Langkah lainnya memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar serta memberikan tes kemampuan inteligensi (IQ) khusus bagi siswa yang diduga kesulitan belajar.

Setelah semua dilakukan, guru bisa menganalisis hasil diagnosisnya, menentukan kecakapan bidang yang bermasalah, menyusun program perbaikan, dan terakhir melaksanakan program perbaikannya. Guru seyogianya juga bekerja sama dengan guru BP dalam menangani kesulitan belajar siswa di sekolah. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Kamis, 19 Maret 2009

Ketika Guru dan Siswa Saling Mengajar

Oleh : Belfin P. Siahaan,Guru SMP Cita Hati Surabaya

Bukan rahasia lagi bila gudang pengetahuan kini bukan lagi milik sekolah atau guru. Ilmu pengetahuan bisa didapatkan di mana saja. Lebih-lebih adanya internet, toko buku, dan sumber informasi yang berseliweran di mana-mana.

Internet, misalnya. Hanya dengan menuliskan kata kunci, semua informasi yang ingin kita pelajari tersedia dengan pilihan beraneka. Ibarat toko serbaada, pelanggan tinggal memilih barang yang sesuai.

Memang, sekolah masih merupakan sumber pengetahuan formal yang kita kenal. Namun, pernahkah terpikir oleh kita bagaimana jika ilmu yang diajarkan oleh guru, materi yang disampaikan guru, selalu sama dari tahun ke tahun? Akankah kualitas siswa membaik?�

Fenomena senioritas kadang juga masih terjadi di kalangan guru. Guru yang merasa sudah malang-melintang dalam dunia pembelajaran merasa tidak perlu lagi ''belajar'' . Arogansi semacam itu tidak hanya berdampak buruk bagi si guru, tapi juga siswa.

Ketika masih duduk di bangku playgroup (PG), TK, dan SD, tidak jarang seorang anak mengucapkan celoteh, seperti "Kata Bu/Pak Guru ..." atau "Bu/Pak Guru bilang...". Perkataan begitu biasanya muncul tatkala instruksi atau tindakan orang tua dan keluarga tidak sesuai dengan yang diucapkan guru.

Itu menunjukkan, figur guru sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Siswa mempelajari segala hal yang baru dia ketahui dan langsung mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Fenomena yang terjadi di TK dan SD itu mungkin beda dengan di SMP dan SMA. Guru mungkin bisa menganggap siswa PG, TK, dan SD adalah objek yang belum tahu apa-apa. Dengan demikian, guru berperan sebagai subjek, pemberi, dan pengubah ketidaktahuan menjadi tahu. Akibatnya, metode pengajaran cenderung teacher centered, guru sebagai pusat dan utama.

Siswa SMP dan SMA bukan lagi objek yang tidak tahu apa-apa. Mereka subjek yang telah memiliki segudang pengetahuan. Sering guru tidak menyadari itu. Anggapan yang menyatakan bahwa siswa adalah pelajar, orang yang harus belajar, melekat begitu kuat. Sebaliknya, guru seolah tidak perlu belajar lagi.

Seharusnya, guru mengenali siswa sebagai subjek yang memiliki talenta tertentu yang bisa berkolaborasi dengan guru. Guru harus menjadi fasilitator yang menjembatani ketertarikan siswa dalam belajar.

Jika kondisi begitu bisa terjadi, bukan tidak mungkin siswa yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu akan mengajarkan apa yang dia ketahui. Sikap saling menerima, hubungan yang terbuka, dan kolaborasi yang baik akan menghasilkan simbiosis mutualisme.

Misalnya, guru musik boleh mengajarkan teori dan cara bermain musik. Namun, siswa juga boleh mengasah kreativitas sesuai permainan musiknya. Guru belajar tentang kemampuan siswa dan siswa belajar menerima arahan guru. Demikian pula, guru komputer bisa saja belajar tentang program-program baru dari siswa.

Tentu, kondisi begitu hanya mungkin terjadi jika guru menerapkan pola pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) atau pembelajaran kontekstual (contextual learning). Interaksi antara guru dan murid tidak dijalin dengan komunikasi yang kaku antara "orang yang serbatahu" dan "anak yang tidak tahu apa-apa".

Kalau kita mau jujur, guru dituntut mengalami dan membuat perubahan. Sebab, guru sesungguhnya adalah generation changer. Usia boleh tua, pengalaman yang dimiliki mungkin segudang pula. Namun, segudang pengalaman itu seharusnya diimbangi dengan segudang pengetahuan yang harus selalu di-upgrade, diperbarui, dan dikomunikasikan dengan siapa saja. Ibarat komputer, casing boleh lama, tapi software dan hardware-nya harus selalu di-upgrade. Moto seperti long life learner, never stop to learn, atau risk taker harus menjadi andalan guru dalam menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

Cara yang perlu dilakukan sebenarnya mudah. Pertama, guru harus siap untuk terus belajar. Kedua, mau belajar dari apa saja, bisa buku, sekolah, internet, termasuk dari siswa. Ketiga, berani membuat forum sharing yang berisi evaluasi diri. Keempat, bekali diri dengan keahlian yang tiap tahun bertambah. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 19 Maret 2009

Mengolaborasikan Pembelajaran SMA-SMK

Oleh: Suwati, Guru SMKN I Kota Mojokerto

PROGRAM pembelajaran untuk tingkat lanjutan atas dialokasikan pada orientasi yang berbeda, yakni SMA dan SMK. Kebutuhan masyarakat pada pola pembelajaran di sekolah lanjutan memang bermacam-macam. Namun, setidaknya, ada dua poin utama yang menentukan pilihan bersekolah. Yakni, menjangkau pendidikan lebih lanjut dan langsung menjangkau pekerjaan.

Tentu, tidak mungkin kedua aspek tersebut dijangkau oleh satu institusi. Karena itu, didirikanlah sekolah umum dan sekolah khusus atau sekolah kejuruan. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Namun, kondisi itu ternyata belum dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Lulusan SMA yang tidak mampu meneruskan jenjang pendidikan harus memasuki dunia kerja. Mereka harus bekerja karena ketiadaan kesempatan belajar lebih lanjut, baik karena biaya atau gagal dalam ujian masuk. Padahal, mereka tidak berbekal keterampilan untuk bekerja.

Di sisi lain, tidak sedikit lulusan SMK yang ingin mengikuti ujian masuk ke jenjang pendidikan lebih lanjut. Mereka belajar mati-matian untuk menguasai materi pelajaran yang dirasakan kurang saat belajar di SMK. Mereka menambah kemampuan teoretis dengan mengikuti pembelajaran khusus, bimbel, atau sebangsanya. Itu membuat mereka harus mengeluarkan biaya ekstra agar menguasai materi belajar sekolah umum.

Karena itu, seharusnya dimunculkan proses pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan siswa SMA dan SMK. Program pembelajaran ini dikondisikan agar kebutuhan teknis siswa SMA terpenuhi, demikian juga kebutuhan teoretis siswa SMK.

Pembelajaran kolaboratif bisa dianggap alternatif solusi untuk menciptakan intergralistik program antara SMA dan SMK. Program pembelajaran kolaboratif disusun sedemikian rupa sehingga siswa SMK dapat mengikuti pembelajaran keterampilan, aspek psikomotor yang tidak diperoleh secara maksimal di SMA. Sebaliknya, siswa SMK dapat mengikuti proses pembelajaran adaptif di SMA.

Untuk kelancaran program ini, diperlukan kerja sama yang solid untuk mengatur teknik pelaksanaan kegiatan. Terutama, berkaitan dengan waktu pelaksanaan dan jumlah siswa yang mengikuti program pembelajaran. Waktu terkait dengan jadwal belajar di masing-masing sekolah. Jika waktu yang diterapkan tidak tepat, akan terjadi benturan. Jumlah peserta juga perlu dialokasikan agar program berjalan efektif. Sebagai program kolaboratif, kualitas jauh lebih diutamakan daripada kuantitas.

Pada jadwal yang sudah disusun, siswa SMA belajar di SMK, khususnya di bengkel. Mereka diberi bekal keterampilan aplikatif dengan kurikulum implementatif, yang diadaptasi dari kegiatan teknik yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian, siswa SMA punya bekal keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan.

Program pembelajaran kolaboratif yang dijalani siswa SMK adalah proses pembelajaran selayaknya siswa SMA. Mereka dibekali pengetahuan sehingga mampu bersaing memperebutkan bangku kuliah dan dapat melanjutkan proses pembelajaran di tingkat lebih lanjut.

Bila terjalin kerja sama yang baik antara SMA dan SMK, asumsi bahwa SMK adalah sekolah kelas dua dapat dianulir. Yang terpenting, terakomodasinya kebutuhan masing-masing pihak sehingga anak didik dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukankah itu yang kita usahakan dalam proses pembelajaran? Kita memberikan hal terbaik yang dibutuhkan anak didik agar tidak kesulitan saat berhadapan dengan kehidupan yang sesungguhnya. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 20 Maret 2009

UN Teori Kejuruan, Sebuah Tantangan

Oleh: Ghozali, Guru SMK Negeri 1 Cerme, Gresik

ADA yang menarik dalam Permendiknas Nomor 78 tahun 2008 tentang Ujian Nasional (UN), khususnya SMK. Pelaksanaan UN tulis utama, yang biasanya tiga hari dengan tiga mata pelajaran wajib, sekarang berubah menjadi empat hari. Jadwal yang tertera untuk hari keempat adalah mata pelajaran teori kejuruan.

Peraturan itu diperkuat Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor 1513/BNSP/XII/2008 tentang Prosedur Operasional Standar (POS) UN Tahun 2008-2009. Yang perlu dicermati, mengapa bertambah? Adakah esensi yang diharapkan?

Kita mafhum, pelajaran kejuruan selama ini lebih ditekankan pada peningkatan skill siswa. Praktik di bengkel dan laboratorium, juga diterjunkannya siswa untuk prakerin, adalah salah satu bukti. Keterbatasan bahan ajar, baik berupa paket, modul, maupun bahan bacaan pendukung adalah bukti lain. Yang penting, siswa punya skill baik dan siap diterjunkan ke dunia kerja.

Secara intelektual?

Sebuah penelitian menemukan, ketika tamatan SMK baru masuk sebagai tenaga kerja, kemampuan dan prestasinya bagus. Mereka umumnya juga lebih memenuhi standar persyaratan dibandingkan temannya yang tamatan SMA. Namun, dalam perkembangannya, tamatan SMA segera bisa menyamai, bahkan mengungguli, kemampuan sang tamatan SMK. Sebab, mereka lebih memiliki kemampuan manajerial dan intelektual.

Siswa ujian tentu biasa. Kalau guru ujian? Inilah saatnya. Pelaksanaan UN teori kejuruan menuntut semua elemen guru kejuruan turut mengemban tanggung jawab dan harus siap "dikorbankan". Mereka tidak bisa bersantai karena siswa telah mampu berpraktik sesuai bidang kerjanya. Sekarang mereka dituntut lebih.

Salah satu yang menjadi ukuran kualitas seorang guru adalah kemampuan dan mutu lulusan. Dengan UN teori kejuruan, guru kejuruan mestinya tertantang untuk belajar, membaca, dan mendalami bidang ajarnya. Dia harus berusaha memecahkan masalah-masalah teoretis, terutama di hadapan siswa. Dia tidak bisa berleha-leha sambil merokok mengawasi praktik siswa.

Guru kejuruan dituntut memberikan pengajaran secara tepat, inovatif, dan balance antara teori dan praktik. Pembenahan sistem pembelajaran harus dilakukan. Mereka harus segera beralih ke sistem pembelajaran inovatif. Pendekatan yang dilakukan harus prosiswa sehingga pembelajaran berlangsung gayeng dan menyenangkan.

Perangkat pembelajaran berbasis information technology (IT) juga diperlukan untuk menuntun siswa memahami dan menggunakan teknologi yang sama. Dengan sama-sama memperkaya diri melalui berbagi jaringan informasi, antara guru dan siswa akan terjalin kesamaan langkah. Dengan demikian, pembelajaran akan jauh lebih mudah dan berdaya guna.

Melahirkan lulusan SMK yang memiliki kemampuan practical, managerial, dan intellectual tinggi harus jadi tanggung jawab bersama. UN teori kejuruan mestinya dianggap sebagai salah satu sarana untuk menggapai itu. Bila tantangan itu bisa dijawab, jati diri SMK akan kian nyata dan kian dengan harapan masyarakat dan pemerintah. Semoga.(soe)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 20 Maret 2009

SMK, Angan-Angan v Realita

Oleh: Lusifranika, Guru SMP Al Hikmah Surabaya

BELAKANGAN, pemkot mengejar target rasio sekolah menengah kejuruan dan sekolah menengah atas (umum) menjadi 70 : 30. Artinya, jumlah siswa SMK harus jauh lebih banyak daripada siswa SMA (Jawa Pos, 3/1/09). Upaya ke arah itu sudah dilakukan dengan promosi ke sekolah-sekolah menengah pertama, menggratiskan biaya pendidikan, pembangunan sarana SMK, dan iklan di televisi.

Kenyataannya, SMK bukan pilihan favorit atau utama bagi sebagian besar lulusan SMP. Bila siswa SMP ditanya mengapa lebih memilih SMA, bukan SMK, jawaban yang muncul adalah sulit mendapatkan pekerjaan, gaji lulusan SMK kecil, dan lulusan SMK jadi pegawai bawahan.

Di sisi lain, input siswa SMK adalah siswa yang orang tuanya berekonomi menengah ke bawah. SMK menjadi sekolah cadangan bila tidak diterima di SMA (sekolah pilihan terakhir).

Siswa SMK atau SMA merupakan siswa usia remaja (15-18 tahun). Di usia ini, anak belum siap dengan beban kerja. Jiwa kemandirian anak harus ditanam sejak dini. Kurikulum pendidikan keterampilan harus diperkuat sejak sekolah dasar. Pengayaan bidang studi juga perlu diperkuat sejak SD. Siswa perlu paham untuk apa manfaat belajar matematika, bahasa, IPA, atau bidang studi lain. Kedewasaan berpikir siswa SMP akan menentukan dia memilih SMA atau SMK.

Lulusan SMK yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi harus bersaing keras dengan lulusan SMA. Sebab, kurikulum SMK lebih dominan praktik. Mau masuk perguruan tinggi harus dites dulu dengan soal yang tidak banyak didapat di SMK. Padahal, semua lulusan SMA atau SMK ingin mencicipi bangku kuliah. Hanya, karena keterbatasan dana atau hal lain, tidak semua dapat masuk perguruan tinggi.

Lulusan SMK lebih diarahkan ke dunia kerja. Padahal, siswa SMP umumnya berharap suatu saat akan kuliah. Tak aneh, mereka lebih memilih SMA. Bukankah kita mengajarkan kepada siswa untuk mengejar cita-cita setinggi langit?

Selain itu, SMK tidak ngetren. Sejak zaman Rano Karno dan Yesi Gusman, tidak ada Gita Cinta dari SMK. Yang ada hanya cerita-cerita SMA. Menjadi siswa SMA lebih bergengsi daripada siswa SMK. Persepsi ini yang harus diubah lebih dulu.

Fakta menunjukkan, hanya 20 persen lulusan SMA di Surabaya melanjutkan ke perguruan tinggi (PT). Sisanya tidak melanjutkan dan memilih bekerja (Jawa Pos, 3/1/09). Jika sekolah menengah atas tetap jadi favorit bagi lulusan SMP, dapatkah pemerintah membuat program lulusan SMA plus-plus? Maksudnya, jika lulus SMA ingin bekerja, dia mudah mendapatkannya karena sudah dibekali keahlian sesuai bidangnya. Atau, dapatkah SMK plus-plus. Maksudnya, SMK menghasilkan lulusan yang cerdas dan terampil. Sehingga, jika bekerja, lulusannya dapat meningkatkan karir.

Pemerintah harus mampu meyakinkan orang tua dan siswa bahwa lulusan SMK akan punya masa depan yang cerah. Pemerintah harus meyakinkan perusahaan bahwa lulusan SMK punya nilai tambah yang bisa memajukan perusahaan. Hanya dengan begitu program 70 SMK : 30 SMA tidak diragukan.(soe)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 20 Maret 2009

Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Sastra, Masih Perlukah?

Oleh : Suhariyadi, Guru SMA PGRI 3 Tuban

Modernisasi, konon, telah mengubah pola pikir, pola hubungan sosial, pola konsumsi, dan pola pandang manusia terhadap kehidupannya. Zaman modern telah membawa perubahan sosial budaya manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai agen modernisasi telah menciptakan kemudahan bagi peradaban. Apa yang dulu cuma impian sekarang menjadi kenyataan. Jarak yang dulu membentang jauh sekarang begitu dekat. Apa yang dulu sulit sekarang menjadi mudah.

Modernisasi menjanjikan kemuliaan bagi manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjanjikan kebahagiaan. Era revolusi industri di abad lampau bahkan menyebut dunia modern sebagai surga dunia. Mana ada negara yang menolak modernisasi? Mana ada masyarakat yang enggan teknologi?

Pendidikan modern menjadi lembaga yang mewujudkan semua itu. Manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan. Sekolah-sekolah didirikan. Output mereka adalah penerus dan pengembang zaman modern. Modernisasi harus diteruskan.

Lantas, masih pentingkah sastra di tengah hiruk-pikuk kebudayaan modern itu? Persoalannya bukan penting atau tidak. Semua hal di dunia, yang positif, pasti penting. Semua bidang kehidupan yang diciptakan manusia pada hakikatnya dibutuhkan. Begitu pula dengan sastra. Bidang ini punya peran dan fungsinya sendiri.

Yang mesti dipersoalkan adalah dasar pemikiran dan paradigma bidang sastra itu dalam kehidupan masyarakat. Di mana pun dan kapan pun, kesusastraan pasti ada. Sesederhana dan seprimitif apa pun suatu masyarakat, ada kesusastraan. Seolah, kesusastraan merupakan kodrat yang melekat pada manusia. Sastra merupakan takdir yang tidak mungkin ditolak manusia. Ia mesti terjadi dan dijadikan manusia. Sebab, dia lahir dari intuisi dan naluri manusia.

Jika komunitas binatang memiliki naluri dan intuisi untuk makan, manusia memiliki intuisi dan naluri berkesenian. Manusia adalah makhluk estetis. Dalam individualitas dan kolektivitasnya, manusia memiliki kebutuhan akan estetika. Keindahan tak akan pernah lepas dari kebenaran dan kebaikan dalam diri manusia. Manusia akan mengejarnya. Manusia membutuhkannya. Kapan pun, di mana pun.

Manusia mesti humanis. Humanisme tidak akan pernah dimiliki makhluk lain. Sungguh suatu bencana bila manusia mengalami kemunduran humanisme. Sifat dan kehakikian manusia terletak pada humanisme itu. Ia berada dalam karakteristik dan kesadaran akan kemanusiaan. Tak akan ada manusia tanpa humanisme.

Ibarat kompas, humanisme adalah pedoman yang menuntun manusia pada arah yang benar. Ia self control dalam kehidupan. Manusia berbuat sebagai manusia karena dalam dirinya ada humanisme. Manusia menata dunianya yang lebih manusiawi karena humanisme. Manusia bertindak, berpikir, berpandangan, dan berinteraksi lebih bijak, peka, dan manusiawi karena humanisme.

Sastra merupakan bagian dari perwujudan humanisme manusia. Di dalam sastra, bermekaran intuisi, naluri, imajinasi, estetika, religi, kolektivitas kesadaran, dan pandangan dunia manusia. Semua itu menjadikan manusia lebih utuh sebagai manusia, lebih dari manusia sebagai agen teknologi yang menciptakan mesin-mesin yang kelak mengubah dirinya.

Jadi, harus ada yang memedomani manusia. Harus ada yang mengontrol modernisasi agar manusia tetap memiliki humanisme. Modernisasi harus tetap berkarakter manusia, yaitu humanis. Di sinilah pentingnya pendidikan sastra dalam menciptakan manusia yang humanis. Menjadikan modernisasi sebagai impian manusia yang lebih humanis, kenapa tidak? (soe)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 16 Maret 2009

Minggu, 15 Maret 2009

Kemasan IPA Harus Variatif

Oleh: Lilis Kusmawati, Guru dan Mitra Kelas 3 SDIT Al Ummah Jombang

BAGI saya, mengajar IPA lebih mudah daripada mengajar Bahasa Indonesia. Mengapa? Sebab, IPA adalah ilmu pasti, yang mudah dinalarkan kepada anak. Tapi, itu ternyata tidak berlaku pada semua anak.

Ada anak yang begitu antusias mengikuti IPA. Dia selalu menantikan saat ada pelajaran IPA. Daftar pertanyaan terkumpul di otaknya dan dia seperti tak sabar mengeluarkan unek-unek. Misalnya, ketika kami sampai pada bab Indra Peraba-Kulit, dia bertanya, "Mengapa kulit kaki bisa pecah-pecah?"

Padahal, saya yakin, anak lain tidak berpikir bahwa telapak kaki adalah bagian yang dipelajari di bab tersebut. Masih banyak pertanyaan yang dia lontarkan ketika saya mengajar di kelasnya.

Sebaliknya, ada kelompok anak yang sangat berbeda dalam mengikuti pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). Saya katakan kelompok karena jumlah anak yang "tidak suka" pelajaran IPA itu tidak sedikit. Pelajaran IPA menjadi momok bagi mereka.

Ada beberapa alasan yang membuat mereka tidak menyukai pelajaran IPA. Pada kesempatan ini, saya hanya menyebutkan dua. Pertama, faktor guru pengajarnya. Kedua, kemasan pelajaran IPA tidak menarik bagi mereka.

Guru sangat berpengaruh terhadap daya serap anak dalam mengikuti pelajaran. Seharusnya, guru punya cara tersendiri untuk masuk ke dalam pikiran anak. Jangan malah sebaliknya, anak dipaksa masuk ke dalam pikiran guru, yang notabene adalah pikiran orang dewasa.

Yang tak kalah penting, kemasan pelajaran IPA harus dilakukan secara menarik. Misalnya, dalam mengawali pelajaran IPA, guru menjelaskan materi sebentar saja. Selanjutnya, anak diajak langsung belajar dari alam. Ini sesuai untuk bab yang berhubungan dengan alam sekitar, misalnya "daun tumbuhan".

Dalam bab ini, anak bisa diminta memetik beberapa daun lalu diminta mengidentifikasi bentuknya, baik berdasar jumlah helai daun maupun bentuk tulang daunnya. Hal-hal yang diamati anak disimpulkan dan dibahas bersama. Dengan demikian, anak merasa bersinggungan langsung dengan alam yang akan menjadikan pengalaman baru yang susah terlupakan sampai dewasa.

Bagaimana dengan materinya struktur tubuh manusia? Untuk materi ini, yang paling cocok adalah menyediakan alat peraga, yang bentuk dan ukurannya diharapkan sama dengan aslinya. Dengan begitu, anak mudah menghubungkan ilmu yang diterimanya dengan kondisi tubuh manusia, termasuk dirinya sendiri.

Bagaimana pula jika materinya "benda"? Untuk materi ini, justru banyak hal yang bisa dijadikan ladang berkreasi dan bereksperimen bagi anak. Mereka bisa diajak membuat model peraga yang bisa menerangkan benda tersebut.

Anak juga bisa diajak praktik langsung mengamati sifat dan perubahan yang terjadi pada benda padat, cair, dan gas. Bahan yang dipakai sebaiknya yang mudah didapat dan umum dipakai di masyarakat. Dengan begitu, anak paham bahwa salah satu tujuan mempelajari benda adalah bisa dijadikan modal berbisnis saat dewasa nanti.

Dengan kata lain, mengajar IPA harus enjoy and fun bagi anak. Pembelajaran yang monoton hanya bicara harus disingkirkan. Tidak fair jika pembelajaran IPA sekadar mengejar kemampuan kognitif dengan memecahkan ratusan soal. Kemasan IPA harus memberikan ruang gerak kepada anak untuk bebas berkarya dan bereksperimen.

IPA bisa juga disajikan dalam bentuk kunjungan ke objek secara langsung (field trip) atau mendatangkan guru tamu (guest teacher) ke sekolah. Kunjungan bisa dilaksanakan ke gunung kapur sebagai aplikasi pelajaran IPA, IPS, dan agama. Sedangkan guest teacher bisa bisa pakar, praktisi, atau memberdayakan wali murid secara berkala. Setelah melaksanakan dua hal tersebut, anak diminta membuat laporan sederhana. Jika pembelajaran IPA bisa dilaksanakan bervariasi, anak tidak akan bosanm, bahkan mungkin merindukan IPA. Semoga.(soe)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 13 Maret 2009

Menjadikan Anak Didik Penuh Cinta

Oleh: Dwita Ayu Novaria, Guru TK Rumah Cerdas, Malang

Mendidik seorang anak mungkin tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit. Banyak cara atau metode yang bisa kita pakai untuk membuat anak kita menjadi seorang sukses, bahagia, ceria, berpandangan jauh ke depan, serta memiliki akhlak mulia.

Namun, teori kadang tidak mudah dipraktikkan. Kondisi fisik dan psikis anak satu dengan anak lain tidak sama. Anak adalah harta dunia dan akhirat yang tidak akan pernah terbeli atau tergantikan oleh materi dunia yang kita miliki.

Fenomena yang terjadi saat ini, ketika mengalami kondisi yang tidak menyenangkan, kita (orang tua atau guru) kadang melampiaskan kepada anak atau murid. Tak jarang kekerasan menjadi salah satu solusi.

Kita lupa bahwa yang begitu bisa membuat anak (murid) menjadi trauma. Penyesalan kita pun kadang hanya membuat suasana tambah rumit. Sebab, tak jarang kita tidak dapat mengubah apa pun yang telah terjadi. Bahkan, kita tidak melakukan perubahan apa pun atas pola pendidikan yang kita terapkan.

Apakah pendidikan dengan kedisiplinan tingkat tinggi yang berujung pada kekerasan merupakan solusi? Akankah budaya premanisme di tingkat pendidikan menjadi pemandangan yang wajar? Atau, akankah pendidikan yang kita berikan hanya berdasar UUD (ujung-ujungnya duit)?

Pendidikan mahal, kekerasan terhadap anak (murid) sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua menyiksa anak karena masalah ekonomi, perceraian, atau tidak menginginkan kehadiran anak. Atau, guru yang menegakkan disiplin dengan main gampar atau menyuruh murid berdiri atau berlari di lapangan yang panas.

Pernahkah kita berpikir bahwa yang kita lakukan itu akan meninggalkan trauma pada anak? Pernahkah kita berpikir bahwa yang kita lakukan itu suatu saat akan ditiru oleh anak (murid) kita? Kalau begitu, bagaimana masa depan anak (murid)? Sudah bukan zamannya mendidik anak (murid) dengan kekerasan.

Kenapa kita tidak mencoba mendidik anak (murid) dengan hati? Bukankah hati tidak pernah berdusta dan penuh cinta serta kasih sayang? Hati kita selalu jujur. Hati kita selalu lemah lembut penuh asih. Tidakkah bahagia yang terasa bila kita mendidik anak (murid) dengan penuh cinta dan kasih sayang?

Selama ini, kita bangga bila anak (murid) takut kepada kita. Padahal, kepatuhan dan ketaatan yang mereka tunjukkan hanyalah fatamorgana. Mereka menuruti keinginan kita, tetapi bertolak belakang dengan apa yang ada dalam hati mereka. Siksaan batin yang mereka rasakan lebih perih dan sakit ketimbang kekerasan yang kita lakukan. Bahkan, mungkin tidak akan pernah mereka lupakan sepanjang hayat.

Betapa nikmat bila anak (murid) menghormati kita sebagai orang tua atau pendidik tanpa ada paksaan. Betapa indah bila benak anak (murid) menggambar sosok kita sebagai sosok bijak, demokratis, menghargai anak (murid). Kita bukan momok yang menakutkan bagi anak (murid). Kita adalah teman, kakak, adik, orang yang dapat memberikan inspirasi dan support, serta panutan (teladan) di kehidupan mereka.

Menanamkan disiplin kepada anak memang tidak mudah. Namun, itu dapat kita terapkan, asal sesuai dengan karakter dan kepribadian anak (murid). Disiplin tidak selalu identik dengan kekerasan. Kata-kata tegas sudah cukup. Tidak perlu membentak-bentak, apalagi main tangan. Bahkan, dengan kata-kata lembut pun kita dapat menerapkan disiplin kepada anak.

Tidak ada kata terlambat untuk mengubah paradigma lama dalam mendidik anak, paradigma menuntut selalu menuruti segala yang kita katakan dan inginkan. Anak juga punya perasaan. Mereka juga ingin dihargai, didengar, dan diajak berkomunikasi, bila perlu dimintai pertimbangan.

Biarkanlah hati kita yang bicara dan menuntun kita. Percayalah, hati tidak akan pernah berbohong. Jadikanlah anak kita anak-anak yang penuh cinta dan kasih sayang. Ajarkan kepadanya bahwa kekerasan bukanlah solusi dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Didiklah anak (murid) kita dengan penuh cinta dan hati tulus tanpa pamrih. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 14 Maret 2009

Matematika Itu Mudah dan Penting

Oleh: Fathurrofiq SS Guru SMP Al Hikmah, Surabaya

Pelajaran matematika atau fisika, bagi banyak siswa di negeri ini, masih dianggap sebagai pelajaran monster. Sulit dan menakutkan. Hasil unas tiap tahun menunjukkan, banyak siswa yang gagal unas karena nilai matematika mereka jeblok.

Pada tahun ajaran 2002/2003, tahun pertama pelaksanaan unas, dunia pendidikan menengah dikejutkan oleh tingginya angka ketidaklulusan siswa SLTP, terutama siswa sekolah swasta. Di Surabaya, di antara 33.234 siswa SLTP, 512 siswa tidak lulus. Penyebabnya adalah nilai matematika. Pada unas 2008, tercatat 634 siswa SMA di Surabaya dan ratusan siswa lain di luar Surabaya tidak lulus. Penyebabnya, mereka jeblok di matematika.

Masalah serius pendidikan matematika itu harus segera diurus. Ketika Uni Soviet pada 1957 mampu meluncurkan Sputnik I ke bulan, Amerika Serikat (AS) ngotot membenahi program pendidikan matematika di tingkat dasar dan menengah. Usaha besar-besaran dilakukan untuk mendongkrak kemampuan matematika generasi muda. AS menyadari pentingnya matematika sebagai dasar sains dan teknologi. Satu dasawarsa kemudian, AS mengejar ketertinggalan dari Soviet di bidang sains dan teknologi ruang angkasa.

Telah dimaklumi, sains dan teknologi membutuhkan matematika sebagai bahasa numerik. Untuk menguasai teknologi, dibutuhkan kecerdasan matematis, lebih-lebih teknologi roket. Penerbangan angkasa jelas membutuhkan ketepatan perhitungan matematika. Tidak sembarang ilmuwan bisa menjadi ilmuwan NASA (badan antariksa AS).

Salah satu pangkal rendahnya kecerdasan matematis, seperti terlihat dalam unas, adalah citra dan kesan sulit yang melekat dalam pelajaran matematika. Menghadapi kondisi ini, sebelum mempersoalkan materi atau kompetensi matematika, guru dan sekolah harus meyakinkan anak didik bahwa matematika itu mudah dan penting. Matematika tak lebih dari bahasa sehari-hari. Hanya, abjadnya berupa numerik (1, 2, 3...). Matematika adalah kebutuhan dasar dalam menjalankan kehidupan.

Mengoreksi persoalan metode pengajaran tidaklah berlebihan. Anak Indonesia yang dikirim untuk mengikuti Olimpiade Sains dan Matematika tingkat internasional menunjukkan, kecerdasan matematis mereka bisa mengungguli anak dari negara maju.

Bandingkan juga buku-buku dan modul matematika, seperti New Syllabus Mathematic terbitan Shinglee Publisher Pte Ltd yang diedit Lee Peng Yee. Atau, The Ultimate Study Guide Revised GCSE Mathematic terbitan Letts Educational Chismick Centre. Buku-buku itu memuat materi dan soal dengan tingkat kesulitan serupa dengan buku-buku matematika tulisan pendidik Indonesia. Yang beda hanya buku-buku tersebut berbahasa Inggris.

Karena itu, persoalan metodis-didaktis dalam pembelajaran matematika, yang masih banyak kelemahan, mesti menjadi agenda utama pemerintah, sekolah, dan guru matematika untuk dibenahi. Gerakan memasyarakatkan matematika, menjadikan anak-anak cinta dan biasa dengan matematika, juga perlu digalakkan. Diharapkan, anak menganggap matematika sebagai sesuatu yang biasa, sebiasa bahasa sehari-hari.

Kemajuan teknologi, jika masih diidamkan bangsa ini untuk sejajar dengan bangsa maju, mensyaratkan penguasaan matematika. SK Menristek No 11/M/KP/IX/2004 mencanangkan, pada 2025 Indonesia harus masuk jajaran 20 negara termaju di dunia dalam penguasaan sains dan teknologi. Itu berarti 16 tahun lagi. Bukan waktu yang lama. (soe)

Sumber:
Jawa Pos, Sabtu, 14 Maret 2009

Malaikat Pendidikan Masih Ada

Oleh: Justina T. Jatmanti, Guru SMAK St Yusuph, Surabaya

KISAH guru yang dilaporkan kepada aparat kepolisian karena ''menganiaya'' siswa semakin marak menghiasi media. Kenyataan itu mempertajam menguatnya kesadaran siswa dan orang tua atas hak asasi manusia. Meski demikian, penyebab tindak kekerasan guru belum tentu karena ketidakmampuan mereka menangani siswa yang harus diakui kini tercerabut dari akar budaya masyarakat kita.

Fenomena itu mungkin mengisyaratkan parahnya kondisi masyarakat kita. Masyarakat yang dalam pengamatan George Bataille (Literature and Evil, 1990) terjebak dalam hipermoralitas. Suatu kondisi ketika tatanan dan patokan moralitas tidak dapat dipegang lagi karena masyarakat berkembang melampaui batas-batas baik dan buruk.

Keseharian kita memang menghadapi dekadensi moral yang mengaburkan batas-batasnya. Keluarga bukan lagi institusi peneduh bagi anggota keluarga. Rumah menjadi tempat persinggahan. Pagi orang tua pergi ke kantor dan kembali ke rumah tidak berdaya. Nyaris tidak punya waktu untuk anak-anak. Anak-anak yang tidak terurus menetapkan standar dan orientasi hidup sendiri; hidup kaya, tamat sekolah mudah, dan mati masuk surga.

Dinamika sosial mengajarkan mereka bahwa kapabilitas intelektual dan integritas pribadi tidak berbanding lurus dengan keberhasilan. Surat izin mengemudi (SIM) dapat diperoleh berkat uang dan calo. Naik pangkat di kantor lebih mempersyaratkan sikap menjilat. Bisa juga suap. Anak-anak itulah yang masuk ke sekolah kita tanpa tes, tetapi dituntut harus lulus oleh penyelenggara pendidikan.

Kita juga menyaksikan koruptor merajalela. Pengusutan dan proses pengadilannya tidak jelas. Ada kesan, semakin besar korupsi, semakin banyak privilese mereka nikmati. Dunia pendidikan memperlihatkan betapa faktor senang dan tidak senang dapat memengaruhi kenaikan pangkat dan golongan mereka dan ujung-ujungnya pendapatan. Mereka pun tahu kepala sekolah menyelewengkan dana sekolah, tetapi tidak ada yang berani berbicara ketika masa depan keluarganya dipertaruhkan.

Para siswa yang tumbuh bebas dalam masyarakat yang tanpa keteladanan itu dibina para guru. Akibatnya, konflik menjadi tidak terhindarkan. Terlepas dari sejumlah kasus yang menyedihkan, para guru sebetulnya lebih menampilkan diri sebagai malaikat dalam masyarakat kita yang sakit dan rusak.

Malaikat di bumi, dalam refleksi Daniel Goleman (Social Intelligence, 2000), adalah orang-orang yang bersedia hadir bagi orang lain ketika banyak orang menutup pintu hati di balik rasionalisasi kesibukan. Dengan demikian, guru bukan sekadar profesi, tetapi keinginan perjuangan untuk hadir bagi orang-orang; sikap altruisme.

Altruisme merupakan kombinasi perilaku tidak berpusat pada diri sendiri. Oliner dan Oliner (1988) merincinya berdasar lima variabel kunci. Yang pertama dan terpenting, orang altruis tidak sekadar melayani. Tetapi, penuh tanggung jawab diikuti sikap sosialisasi yang baik, penuh kompromi, toleran, mampu mengontrol diri, dan ingin memberikan kesan baik kepada orang yang ditolongnya.

Kedua, orang altruis berempati dan percaya terhadap adanya dunia yang adil, meski dunia keseharian mereka bukan yang nyaman menyenangkan. Ketiga, orang altruis membuktikan diri secara sosial bertanggung jawab. Keempat, mereka memiliki kemampuan mengontrol diri. Akhirnya, mereka yang altruis mencirikan sikap egosentris yang rendah. Semakin rendah sikap memusatkan diri memungkinkan orang untuk keluar membantu orang lain.

Banyak lembaga pendidikan kita yang gamblang menghadirkan para malaikat. Mereka mempersiapkan masa depan siswa, meski masa depan mereka diabaikan pimpinan. Mereka mengorangkan siswa sebagai manusia utuh, meski mereka tidak dihargai utuh oleh pimpinan. Kehangatan respons mereka tetap melimpah dari keyakinan bahwa masih ada dunia adil yang pantas didambakan di tengah carut-marut kehidupan. Semoga! (oki)

Sumber:
Jawa Pos, Minggu, 15 Maret 2009

Pujian sebagai Stimulus Pembelajaran

Oleh: Tri Sulistini, Guru SMPN 6 Pamekasan

SELAMA ini, guru meyakini bahwa penghargaan dan pujian akan mampu memotivasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran dan memberikan efek positif lainnya. Misalnya, mampu meningkatkan prestasi belajar. Padahal, itu tidak selamanya benar. Pemberian penghargaan dan pujian dalam waktu pendek dan tidak terus-menerus memang mampu memotivasi siswa. Namun, itu tidak untuk jangka panjang dan terus-menerus.

Menurut David Paul (2003:116), penghargaan dan pujian ternyata tidak selalu berakibat positif kepada siswa. Banyak akibat tidak baik yang bisa ditimbulkan dari pemberian penghargaan dan pujian yang tidak tepat. Antara lain, menurunkan tingkat ketertarikan. Penghargaan atau pujian lazimnya diberikan kepada siswa yang telah mampu melakukan aktivitas pembelajaran dengan baik atau sangat baik.

Namun, semakin banyak guru menggunakan penghargaan dan pujian, guru semakin membutuhkannya dan semakin sulit baginya untuk berhenti. Ini disebabkan siswa melakukan tindakan tertentu bukan karena mereka ingin melakukannya, tapi lebih kepada keinginan untuk mendapatkan penghargaan atau pujian. Siswa akan lebih fokus kepada bagaimana reaksi yang diberikan guru daripada tugas atau latihan yang diberikan guru. Jika guru berhenti memberikan penghargaan atau pujian untuk kegiatan baik atau sangat baik, biasanya siswa kehilangan rasa ketertarikan untuk mata pelajaran tersebut.

Penghargan dan pujian juga dapat menurunkan keaktifan siswa dalam belajar. Jika siswa mendapatkan penghargaan dan pujian, tanpa disadari oleh guru, siswa tersebut telah kehilangan fokus pembelajaran mereka. Mereka hanya melakukan sesuatu yang terkait dengan penghargaan dan pujian tersebut. Mereka cenderung tidak ingin mengambil kesempatan lain yang tidak ada hubungannya dengan penghargaan dan pujian tersebut.

Mereka tidak mau mengambil risiko-risiko pembelajaran yang memungkinkan gagal mendapatkan penghargaan dan pujian. Bahkan, sudut pandang mereka semakin sempit dan pada akhirnya tidak mampu memfokuskan diri kepada kompetensi yang sedang dipelajari. Akhirnya, mereka tidak mampu berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Penghargaan dan pujian pun memungkinkan kelas terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah siswa yang senantiasa mendapat penghargaan dan pujian dan kelompok kedua adalah siswa yang tidak mendapatkan apa-apa. Jika siswa pada kelompok kedua dapat bersikap positif dengan berusaha mengejar ketertinggalan mereka, dipastikan pembelajaran bisa berhasil.

Sebaliknya, jika kelompok kedua bersikap negatif, semua itu justru membuat kelompok kedua semakin terpuruk. Dengan kata lain, kelompok pertama semakin cepat meraih keberhasilan, sedangkan kelompok kedua akan jauh tertinggal. Bagaimana seharusnya guru menempatkan penghargaan dan pujian sebagai stimulus yang memicu keberhasilan pembelajaran?

Guru dianjurkan untuk memperbaiki sistem penilaian. Siswa harus dibiasakan mendapatkan nilai baik jika belajar dengan baik dan sebaliknya akan kehilangan nilai jika tidak bekerja dengan baik. Sistem penilaian yang baik membuat siswa merasa dihargai dan dipuji. Memberikan penghargaan dan pujian sebaiknya mengarah langsung kepada pekerjaan yang dilakukan siswa, bukan kepada individu.

Lalu, guru harus melibatkan diri dalam tugas yang dikerjakan siswa dengan membuka dialog tentang aktivitas atau tugas tersebut dan membahas kesulitan mereka. Kemudian, menirukan kalimat mereka yang dianggap benar dan menuliskan pekerjaan mereka yang dianggap benar di papan. Dengan begitu, tergalilah potensi mereka secara utuh, yang sebenarnya merupakan penghargaan dan pujian tertinggi bagi siswa. (oki)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 15 Maret 2009

Seni Budaya Benteng Terakhir

Oleh: Iman Suligi, Guru SMKN 3 Jember

PROFIL generasi yang kita harapkan sangat dipengaruhi model pendidikan yang diselenggarakan. Di tengah kompetisi global yang gemuruh, kita terlena. Sebab, riaknya tak terasa di permukaan. Keseharian kita yang serbadamai, tenteram, dan rukun membuat kita merasa everything is ok. Mereka yang serius dan dalam banyak hal berbeda serta melawan arus merasa kesepian.

Banyak instansi diam-diam menjadi legitimator hal-hal instan. Empati, imajinasi, dan kreativitas tereduksi oleh sikap-sikap pragmatis. Konsumerisme yang membelit-menggurita menularkan wabah materialisme dan hedonisme. Dedikasi pun luntur seiring dengan maraknya sikap oportunis atau aji mumpung. Kita pun bagai tersengat kalajengking ketika tiba-tiba kedahuluan oleh bangsa-bangsa yang dulu belajar dari kita dan mencak-mencak tanpa mau mawas diri.

Mata pelajaran seni budaya menyiratkan sebuah kesadaran akan gawatnya kondisi itu meski munculnya agak sedikit kesiangan. Itu pun masih ada godaan, jangan-jangan nanti berubah lagi. Untuk itu, saat ini perlu dilihat bagaimana implementasinya di lembaga pendidikan setelah kurang lebih dua tahun dicanangkan. Beberapa masalah yang dihadapi sekolah terkait hal tersebut adalah keberadaan guru seni budaya dalam berbagai cabang seni, buku, dan sarana. Masalah itu sebetulnya tidak berbeda dengan yang dialami mata pelajaran lainnya. Cara penyikapannya saja yang mungkin berbeda.

Jika sekolah memiliki komitmen besar terhadap masalah tersebut, berarti selalu ada solusi tanpa mengorbankan hakikat pentingnya mata pelajaran seni budaya dalam format kurikulum di sekolah. Karena pada dasarnya mata pelajaran ini bukan pendidikan bakat tetapi sarana pembentukan kepribadian, pencerdasan, dan pengembangan diri, seyogianya seorang siswa memperoleh materi semua cabang seni. Dengan begitu, yang diharapkan kurikulum akan tercapai. Yakni, terbentuknya kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, dan naturalis. Tak ketinggalan, kecerdasan adversitas (AQ), kreativitas (CQ), spiritual dan moral (SQ) terakomodasi lewat cabang seni yang memiliki karakteristik berbeda.

Menyadari makna penting dari muatan seni budaya yang masih gres itu, mata pelajaran tidak boleh gagal dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Sekolah harus memosisikannya sedemikian rupa dan mampu menampakkan hasil nyata, baik dalam karya maupun sikap siswa. Untuk menyikapinya, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan.

Pertama, menyajikan semua cabang seni yang ada agar anak secara komprehensif memiliki wawasan dan pengalaman lebih luas. Model penyajiannya pun bisa dibuat dengan berbagai pendekatan. Yakni, sistematis, kronologis, atau tematis. Kedua, mengatasi kekurangan guru dengan melakukan pertukaran guru dengan sekolah lain/lembaga lain atau membentuk tim teaching.

Ketiga, menyediakan sarana seni berupa galeri dan pentas baik secara khusus maupun memanfaatkan apa yang ada secara kreatif. Pemanfaatan ruang maya dengan membuka blog di internet sebagai ruang pajang bisa memberikan nilai tambah bagi sekolah. Yakni, bisa dikunjungi sekolah lain setiap saat. Komitmen terhadap masa depan anak bangsa harus diteguhkan, dan mata pelajaran seni budaya adalah benteng moral bagi identitas diri. (oki)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 15 Maret 2009

Jumat, 13 Maret 2009

Agar Seni Tak Terhambat Bakat

Oleh: Agus Buchori, Guru Seni Rupa di SMAM 6 Lamongan

BANYAK orang bilang, seni adalah sesuatu yang memerlukan bakat. Pendapat begitu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Leonardo Da Vinci pun mengatakan, untuk menguasai sesuatu hanya diperlukan satu persen bakat, selebihnya kerja keras. Berarti, untuk menguasai seni, 99 persen yang diperlukan justru kerja keras.

Problemnya, pendapat bahwa seni memerlukan bakat juga menjangkiti sebagian besar siswa. Akibatnya, ketika mengikuti pelajaran seni, mereka malas karena merasa tidak berbakat.

Pelajaran kesenian yang diberikan kepada siswa di sekolah memang tidak ditujukan untuk standar kelulusan. Pelajaran tersebut dimaksudkan meningkatkan kepekaan rasa, yang diharapkan bisa menghaluskan budi pekerti siswa. Pelajaran ini juga menggali potensi siswa, barangkali ada yang ingin terjun di bidang seni. Di sini peran guru sebagai fasilitator menjadi penting. Sebab, guru juga bertindak sebagai pengamat potensi siswa.

Selain itu, pemberian motivasi dalam pelajaran seni menjadi salah satu tantangan bagi guru kesenian. Sebab, siswa umumnya lebih fokus pada mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Mereka berpikir, toh seni tidak memengaruhi kelulusan. Di sinilah tantangannya. Bagaimana seni menjadi pembelajaran yang menghibur di sela rutinitas siswa menggeluti pelajaran yang disiapkan untuk ujian nasional.

Dalam praktik pelajaran seni rupa, misalnya, guru seni sering mengambil contoh masa kecil masing-masing siswa. Saat kali pertama memegang alat tulis, aktivitas mereka adalah mencorat-coret atau menggambar. Awalnya tanpa bentuk jelas. Namun, dari beberapa kali latihan, mereka bisa membuat garis lurus, garis lengkung, dan spiral. Dari sana mereka bisa diyakinkan bahwa kegiatan menggambar bisa dipelajari.

Pertanyaannya, mengapa kemampuan mereka itu hilang ketika beranjak remaja? Salah satu penyebabnya, mungkin, kemampuan mereka terendam karena orang tua tidak suka, bahkan memarahi anak yang mencorat-coret tembok. Seharusnya orang tua memfasilitasi anak ketika mengekspresikan diri.

Pendidikan seni, seperti halnya ilmu lain, adalah kegiatan ilmiah yang bisa dikembangkan dari beberapa kali percobaan. Untuk menghasilkan karya monumental, seniman pun butuh proses panjang dan berliku. Affandi, salah satu maestro seni rupa Indonesia, perlu proses pematangan sejak menjadi juru gambar poster bioskop keliling hingga papan reklame toko. Melly Goeslow mengaku tidak mengenal not balok, tapi bisa menciptakan karya yang menggebrak dunia musik Indonesia. Tentu, bukan kebetulan kalau mereka meraih sukses. Pasti ada kerja keras dan proses panjang untuk mewujudkan kesuksesan tersebut.

Dalam pelajaran matematika, siswa pintar tentu bukan karena berbakat. Rutin mempelajari dan mengulang pelajaran adalah kunci keberhasilan mereka. Poin pentingnya adalah mereka mencintai matematika. Setali tiga uang, bagaimana kita bisa pintar di bidang seni kalau kita tidak mencintainya?

Siswa perlu diberi pengalaman dan dimotivasi agar mencintai pelajaran seni. Pertama, siswa bisa diajak mencari biografi seniman, sekaligus menganalisis perjalanan hidup mereka dalam proses menghasilkan karya. Diharapkan siswa dapat mengambil hikmah dari perjalanan hidup mereka dalam menggeluti profesi.

Kedua, memberi siswa materi pelajaran kesenian yang sesuai dengan konteks lingkungan mereka. Misalnya, kalau lingkungan kita dekat laut, karya seni yang dihasilkan tidak jauh dari tema kelautan, baik bahan maupun model karyanya. Tugas yang diberikan harus memudahkan siswa memperoleh bahan dan menggali inspirasi karena stimulusnya dekat dengan mereka.

Ketiga, meyakinkan siswa bahwa untuk bisa menguasai suatu bidang, tak peduli seni atau bukan, memerlukan latihan berulang-ulang, disiplin ketat, dan ketekunan. Dengan begitu, siswa yang semula kurang mencintai pelajaran seni menjadi lebih mencintainya. Sebab, mencintai adalah langkah pertama agar berhasil mendapatkan sesuatu dari yang kita cintai. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 13 Maret 2009

Kamis, 12 Maret 2009

Kreatif dengan Bermain Peran

Oleh: Lilik Kholilah, Guru KB-TK Al Falah 2 Tropodo, Sidoarjo

BERMAIN peran dapat diartikan sebagai kegiatan bermain pura-pura, simbolik, fantasi, imajinasi, atau bermain drama. Meski disebut bermain peran, bukan berarti anak hanya bermain tanpa ada tujuan. Sebaliknya, ada banyak aspek yang dapat menunjang proses perkembangan saat kegiatan berlangsung.

Dengan bermain peran, mereka mendapat pengalaman unik, menarik, dan baru. Bahkan, mereka dapat mengaplikasikan pengalaman mereka sebelumnya ke dalam bermain peran sehingga bermain peran menjadi lebih hidup.

Seperti diungkapkan Vygotsky, ahli psikologi, bermain peran mendukung awal munculnya dua kemampuan penting. Yakni, kemampuan memisahkan pikiran dari kegiatan dan benda serta kemampuan menahan dorongan hati dan menyusun tindakan yang diarahkan sendiri dengan sengaja dan fleksibel. Vygotsky yakin, fungsi mental yang lebih tinggi berakar pada hubungan sosial dan kegiatan bekerja sama.

Bermain peran sendiri bertujuan agar anak belajar bermain dan bekerja dengan orang lain. Pertama, bermain peran dipandang sebagai kekuatan dasar perkembangan cipta, tahap ingatan, kerja sama kelompok, penerapan kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian diri, keterampilan sudut pandang spasial, keterampilan sudut pandang afeksi, dan keterampilan sudut pandang kognisi.

Saat anak bermain, akan terlihat bagaimana cara anak menempatkan diri sesuai perannya. Di sinilah letak peran main peran yang sangat aplikatif. Misalnya, bila temanya profesi pedagang, ada peran penjual dan pembeli, ada kasir. Anak berperan bagaimana berangkat akan membeli, proses membeli, membayar di kasir yang harus antre, mendapat barang, dan pulang.

Dalam hal ini, anak belajar berkomunikasi. Misalnya, saat membeli, kata-kata apa yang harus diucapkan. Anak juga belajar mengendalikan diri saat antre membayar di kasir. Pada sudut pandang kognitif, anak belajar membedakan jenis barang yang dipilih dan berapa uang yang harus dibayar.

Atau, saat menjadi petani, ada sawah, topi petani (caping), dan alat pertanian. Dengan itu semua, anak akan antusias, sehingga proses pembelajaran jadi menyenangkan, mengesankan, dan mudah diserap. Bahkan, mereka mendapat pengalaman baru yang seru.

Kedua, bermain peran membolehkan anak menciptakan kembali masa lalu dan memproyeksikan diri ke masa depan serta mengembangkan keterampilan khayalan.

Saat bermain, anak bisa berimajinasi apa saja sesuai peran yang dipilih. Misalnya, saat anak berperan menjadi seorang ibu, dia akan bersikap berdasarkan pengalaman yang didapatnya. Bila dia diperlakukan dengan baik oleh ibunya, dia akan memperlakukan objek mainannya dengan baik pula.

Dalam mengembangkan keterampilan khayalan, anak juga akan berbuat kreatif berdasarkan imajinasi atau khayalannya. Misalnya, beberapa kursi ditata ke belakang memanjang menjadi sebuah kereta api. Inisiatif menata kursi dengan hasil yang diharapkan tentu memberikan kepuasan tersendiri bagi anak.

Di sini pula letak keunggulan bermain peran. Yakni, mendorong anak berbuat kreatif dan berpikir menciptakan sesuatu. Bahkan, tidak hanya pada anak, bermain peran juga mengondisikan guru menjadi lebih kreatif dalam menciptakan dan menyiapkan media pembelajaran yang akan digunakan. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran akan menjadi modal bagi anak untuk dapat bersosialisasi, berkomunikasi, percaya diri, kreatif, dan berinisiatif dalam kehidupan nyata. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 12 Maret 2009

Selasa, 10 Maret 2009

Pelajaran Menulis Tak Perlu Membosankan

Oleh : Nurul Hidayati, Guru SD Khadijah 3 Surabaya

Merangkai kata dalam tulisan, dengan kata lain menulis, termasuk kegiatan yang tidak disukai siswa. Mereka aras-arasen setiap kali ditugasi menulis. Siswa memang mengerjakannya, tapi dengan terpaksa, sekadar menjalankan tugas. Karena itu, hasilnya pun terkesan asal-asalan dan monoton.

Padahal, rasa suka terhadap suatu kegiatan merupakan prasyarat keberhasilan di bidang apa pun. Karena itu, untuk menumbuhkan minat menulis siswa, guru harus jeli memilih cara agar kegiatan menulis menjadi menyenangkan bagi mereka. Guru harus bisa membuat anak jatuh cinta kepada kegiatan menulis. "Sekali anak jatuh cinta, tulisan mereka akan melejit," kata Leonhardt dalam 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis.

Wahyu Wibowo dalam buku Berani Menulis Artikel (2006: 80) mengemukakan, ada jenis pengetahuan lain yang dimiliki manusia, yakni pengetahuan intuitif (imajinatif). Pengetahuan yang amat khas manusia ini dapat difungsikan dalam empat hal. Pertama, kemampuan menciptakan imaji tanpa adanya objek nyata. Kedua, kemampuan imajinasi estetis, permainan fantasi yang disengaja dalam membentuk kombinasi yang harmonis. Ketiga, kemampuan fantasi dalam fungsi praktis. Yakni, menjelaskan sesuatu yang sulit atau abstrak. Keempat, kemampuan imajinasi dalam penemuan ilmiah, yang dapat membentuk bangunan intelektualitas manusia.

Imajinasi sangat diperlukan untuk membuat anak berani menatap masa depan, berani membayangkan kelak menjadi orang sukses seperti apa. Imajinasi juga sangat berperan dalam merumuskan cita-cita. Imajinasi adalah daya hebat yang dapat menerbangkan pikiran ke tempat yang sangat jauh.

Selama ini, cara guru mengajar menulis umumnya terkesan membosankan. Guru membagikan kertas sambil berkata, "Coba ceritakan pengalaman kalian saat liburan!" Pernah penulis mendengar rekan guru meminta siswanya membuat tulisan dengan cara agak berbeda, "Ayo, daripada kalian ramai ngomong dengan teman, lebih baik ngomong sama kertas!"

Menurut penulis, prolog itu menarik. Sayang, semua berhenti di sana. Siswa langsung diminta mulai menulis. Akan lebih seru andai prolog menarik tadi dilanjutkan dengan pendekatan yang bervariasi.

Misalnya, mengajak siswa berimajinasi. Maksudnya, sebelum menulis, ketika kertas siap di depan siswa, guru mengajak mereka berimajinasi atau berkhayal. Kegiatan bisa diawali dengan menjelaskan tema atau judul tulisan. Contohnya, Pergi ke Wisata Bahari Lamongan (WBL).

Siswa diminta memejamkan mata sambil membayangkan. Ketika semua sudah memejamkan mata, guru mengajak siswa membayangkan persiapan pergi ke WBL, dari persiapan di kelas, perjalanan ke lokasi, sampai tiba di lokasi, dan membagikan tiket masuk.

Guru bercerita dengan intonasi dan ekspresi yang membuat anak larut dalam cerita sambil sesekali membuat dialog yang memancing siswa untuk menjawab. Misalnya, "Itu, siapa yang menndorong-ndorong teman?" Saat siswa merespons, "Yoga, Bu!", guru merespons balik dengan mengatakan, "Yoga, jangan mendorong-ndorong teman gitu, Mas. Nanti jatuh!" Akhirnya, guru mengakhiri prolog dengan berkata, "Kita sudah sampai di WBL. Silakan membuka mata dan ceritakan apa yang kalian lihat dan lakukan di sana!" Kegiatan dilanjutkan siswa menulis cerita di kertas masing-masing.

Media gambar juga bisa digunakan untuk membantu siswa mengembangkan imajinasi. Guru bercerita sesuai gambar dengan ekspresi yang bisa membawa siswa larut dalam cerita. Bisa juga ditambah dengan menciptakan tokoh-tokoh imajiner. Lalu, guru mempersilakan siswa menceritakan apa yang terjadi selanjutnya sesuai imajinasi mereka.

Ada tiga hal penting di sini. Yakni, ekspresi, motivasi, dan apresiasi. Artinya, ketika bercerita, guru harus benar-benar berekspresi sesuai cerita yang dibuatnya. Selama kegiatan menulis, guru terus memotivasi siswa untuk mengembangkan imajinasi. Setelah itu, guru mengapresiasi apa pun hasil tulisan siswa. Ide-ide mereka perlu dihargai dan direspons positif. Dengan begitu, guru tidak memutuskan imajinasi siswa, sekalipun imajinasi tersebut mungkin perlu diluruskan. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 10 Maret 2009

Biarlah Masa Lalu Menginspirasi Melalui Guru

Oleh : Sidik Nugroho, SD Pembangunan Jaya 2, Gedangan, Sidoarjo

Simak deretan angka ini, 27.01.08, 13.10. Deretan angka akan kita lupakan tak lama setelah kita bangkit berdiri dari membaca tulisan tersebut. Ya, angka-angka itu adalah tanggal dan waktu kematian mantan Presiden Soeharto.

Presiden kita yang lain, Bung Karno, pernah menyatakan agar kita jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Kita kenal singkatannya, Jasmerah. Sebuah bangsa dapat maju dan berkembang bila tak mengulangi kesalahan yang sama di masa lampau. Sejarah, yang memuat rekam jejak perguliran waktu, tak ayal dapat menjadi hakim bagi tiap hal dalam kehidupan kita. Karena itu, mari kita sadari kenyataan besar ini: sejarah itu penting.

Ketika mengajarkan IPS untuk kelas 3 dengan materi pokok ''Pekerjaan di Masyarakat dan Pentingnya Semangat Kerja'', saya menyiapkan beberapa kisah orang yang berhasil dan gagal dalam pekerjaannya. Saya mengisahkan Lumiere bersaudara dari Prancis, dua orang yang tercatat sebagai penampil film pertama. Koran menolak membantu publikasi karya perdana mereka, yang di kemudian hari justru menghebohkan dan menjadi tonggak berkembangnya film.

Saya kaitkan semangat Lumiere dengan dunia kerja. Saya tarik nilai-nilai positif dari semangat dan kerja keras mereka. Hasilnya mungkin tak tampak sekarang. Namun, paling tidak, antusiasme yang tampak dalam pembelajaran bisa menjadi indikasi kemungkinan pencapaian lebih besar, yang tidak terduga, dari kisah-kisah yang disampaikan itu.

Syukurlah, kurikulum sekarang, KTSP, memberi ruang bagi kita untuk mengemas pembelajaran lebih independen. Kesempatan ini mestinya menjadi ruang bagi kita untuk memberikan yang terbaik kepada murid. Seperti kata Winston Churchill, ''Kita hidup dengan apa yang kita peroleh. Namun, kita memperoleh kehidupan dengan apa yang kita beri.'' Mari, berikan ilmu, inspirasi, dan motivasi terbaik kepada murid-murid kita di zaman hidup serbasusah ini.

Kita tak dapat menyuruh anak didik belajar sementara kita sendiri malas belajar. Semua pemimpin besar adalah pembaca yang serius. Jika Anda selama ini sudah puas dengan gaya, metode, atau kegiatan pembelajaran Anda, baiklah. Mari kita takar kepuasan itu, seberapa jauh hasilnya. Selain dengan kisah inspiratif, Thomas Armstrong dalam buku Awakening Your Child's Natural Genius menyarankan lima kegiatan yang dapat membangkitkan kecerdasan sejarah.

Pohon Keluarga. Ini bisa dibuat dengan menyertakan profesi, foto, dan peran generasi-generasi kita terdahulu dalam suatu peristiwa penting (perang kemerdekaan, misalnya).

Situs Sejarah. Ini sudah umum dilakukan, yakni pergi ke tempat-tempat bersejarah.

Time Line atau Baris Waktu. Ini dapat dibuat dalam gulungan kertas panjang. Catat dan bagilah segmen waktu dalam gulungan itu. Lima ratus tahun lalu, misalnya, apa yang terjadi? Berilah foto, keterangan, penemuan, apa pun yang bersejarah pada masa itu dalam tampilan semenarik mungkin.

Wawancara. Bila kita berkesempatan bertemu tokoh yang melegenda karena karya dan pengabdiannya, coba wawancarai dan rekam suaranya. Atau, ambil gambarnya dengan handycam, tayangkan kembali dan diskusikan.

Simulasi Indra. Kegiatan ini merangsang historisasi (penyejarahan, penghayatan-pengalaman sejarah). Kegiatan ini bisa dilakukan lewat drama dengan mengenakan kostum, atribut, bahkan gaya bicara yang digunakan orang masa lalu.

Pada akhirnya, biarlah sejarah yang kita tuturkan dijadikan salah satu acuan siswa dalam menapaki hidup. Mercusuar kecil di tengah lautan kehidupan yang gulita dan berombak. Ketika saat ini mungkin tidak ada lagi panutan bagi mereka dalam melangkah, setidaknya ada tokoh masa lalu yang bisa ''bicara'' kepada mereka lewat guru-guru sejarah, Anda dan saya. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 10 Maret 2009

Sejarah Harus (Tidak) Seragam

Oleh : Sri Amaljati, Guru SMAN Gading, Probolinggo

Banyak guru sejarah yang kurang mengembangkan model pembelajaran. Akibatnya, siswa sering menjuluki guru sejarah dengan predikat guru pengantar tidur, tukang mendongeng, membosankan, dan lain-lain. Julukan-julukan seperti itu mestinya menjadi cambuk bagi guru sejarah. Itu kritik yang amat membangun.

Kita kenal wadah komunikasi untuk para guru mata pelajaran. Namanya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Kegiatannya, antara lain, membuat RPP, silabus, dan ajang cerita pengalaman pribadi yang berkaitan dengan situasi di sekolah, di rumah, dan lain-lain.

Dari kegiatan-kegiatan tersebut, MGMP membuat RPP yang disusun bersama dalam kelompok tertentu. Misalnya, Ibu Ani membuat RPP kelas X dengan KD historiografi, Bapak Budi membuat RPP kelas XI dengan KD lain. Konsekuensi pembagian tugas tersebut, bapak/ibu guru membuat RPP sesuai kondisinya, baik kondisi pribadi maupun lingkungan sekolah.

Persoalannya, samakah lingkungan sekolah di tempat Ibu Ani dengan Bapak Budi? Tentu tidak. Karena itu, MGMP yang umumnya menghasilkan produk berupa RPP mestinya mengupayakan inovasi dan renovasi. Inovasi berasal dari guru. Renovasi harus dilakukan karena RPP produk MGMP jelas tidak mutlak bisa diterapkan di lingkungan semua guru.

Dengan kenyataan tersebut, dalam menyampaikan mata pelajaran sejarah, guru harus pandai-pandai memilih metode yang cocok untuk sekolahnya, bukan metode yang ada dalam RPP MGMP. Guru sejarah harus benar-benar menguasai kemampuan/kualifikasi sebagai pendidik sejarah. Jika tiap guru sejarah mampu melakukan berbagai inovasi dalam RPP dan pembelajaran, dia pasti paham betapa ''sejarah tidak harus seragam".

Pengajaran sejarah di tingkat SMA menekankan aspek nilai. Tujuan akhirnya membentuk generasi muda yang memiliki nilai nation and character building kukuh. Di sisi lain, perkembangan teknologi sangat mungkin menggoyahkan semangat nasionalisme. Melalui internet, siswa mampu mencari segala informasi yang dia mau, bahkan melebihi gurunya. Ambil contoh, silang pendapat tentang supersemar, peristiwa G 30 S/PKI, dan lain-lain. Siswa bisa tahu banyak tentang hal tersebut dan bertanya sesuai batas imajinasi mereka. Padahal, imajinasi siswa umumnya amat tinggi.

Di sinilah peran guru sejarah benar-benar diuji. Ambil contoh, kurikulum yang kadang berseberangan dengan pengetahuan yang didapat siswa di internet. Guru sejarah kadang bimbang harus menjawab bagaimana agar siswa puas, tetapi "nilai" tetap tersampaikan dan tertanam dalam jiwa siswa. Untuk itu, guru sejarah harus mengubah paradigma lama.

Guru sejarah adalah guru yang menanamkan nilai-nilai historis untuk mewujudkan generasi yang memiliki nation and character building, bukannya doktrinasi atas suatu rezim. Biarkan siswa mencari tahu sejarah entah ke mana. Namun, kita sebagai guru sejarah harus bisa menggiring siswa kepada fakta yang terjadi dengan sesungguhnya.

Kita tunjukkan fakta itu, silakan siswa menilai. Kalau ini kita lakukan, pasti sejarah akan beragam. Kita latih siswa untuk berlapang dada dalam keberagaman sejarah dan keseragaman sejarah bangsanya. Dengan begitu, kelak, di masa depan, mereka tidak akan gagap menghadapi perbedaan dan keberagaman. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 10 Maret 2009

Senin, 09 Maret 2009

Tak Kenal Lelah Gali Inovasi Pembelajaran

Metode pembelajaran inovatif (PI) yang lebih mengutamakan keaktifan siswa telah diterapkan Dewi Kurniasari sejak kali pertama menjadi pendidik. Guru seni musik di SD Laboratorium Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu paham betul bahwa siswa harus diberi keleluasaan mengekspresikan keinginan dalam belajar.

''Jika siswa sudah paham teorinya, saya minta mereka mempraktikkan. Selanjutnya, mereka boleh berkreasi dan berimprovisasi sesuai kehendak mereka. Yang penting, teori dasarnya sudah ada,'' jelas.

Menurut pandangan Dewi, dalam belajar-mengajar, keaktifan siswa sangat diperlukan. Karena itu, dia selalu mendidik siswanya untuk tampil aktif. Untuk mewujudkan hal tersebut, guru yang jago berenang itu punya kiat sendiri.

Hal pertama yang dapat dilakukan Dewi untuk mendorong siswa aktif adalah menumbuhkan sikap berani. Untuk itu, siswa dilatih untuk tampil di depan umum. ''Waktu ujian, kami membiasakan anak-anak menyanyi menggunakan mikrofon. Jadi, suara mereka bisa didengar seluruh penghuni sekolah,'' ujar Dewi.

Wanita kelahiran Madiun, 19 November 1982, tersebut sadar bahwa anak tidak bisa dikekang dalam belajar. Memaksa anak mengikuti metode atau sistem pembelajaran tertentu justru akan mematikan kreativitas sekaligus membuat mereka tertekan. Dampaknya, anak menjadi tidak nyaman dalam belajar. ''Di situlah tugas guru. Yakni, mencari metode pembelajaran yang tepat untuk siswa sesuai karakter mereka,'' katanya.

Tiap anak punya karakter berbeda. Itu diyakini Dewi. Metode pembelajaran A mungkin cocok untuk siswa angkatan 2007. Tapi, cara yang sama belum tentu pas untuk siswa angkatan berikutnya. ''Kita harus kreatif mencari metode pembelajaran apa yang sesuai dengan mereka. Kalau tidak dicari yang cocok, kasihan siswa,'' tuturnya.

Dalam pelajaran seni musik khususnya, menurut Dewi, satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah memberi contoh memainkan alat musik sesuai teori yang benar. Dia menyatakan, contoh konkret merupakan salah satu metode pembelajaran inovatif yang sesuai dengan tujuan.(may/soe)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 15 Januari 2009

Stop Salahkan Pilihan Anak

Keberhasilan proses pembelajaran inovatif (PI) tidak hanya ditentukan oleh guru. Keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran juga sangat berpengaruh. Karena itu, Prof Dr H Muslimin Ibrahim MPd menekankan perlunya orang tua memberi anak keleluasaan berkreasi ketika belajar sesuatu. "Orang tua perlu menciptakan suasana keluarga yang demokratis," ujarnya.

Demi terwujudnya suasana tersebut, orang tua wajib memahami keinginan anak. "Jangan hanya menuntut anak berbuat sesuatu atau menjadi sesuatu. Lebih baik tanyakan apa yang diinginkan anak. Lalu, dukung dan arahkan agar keinginan tersebut tercapai," kata Ibrahim.

Ibrahim lantas memisalkan seorang anak ingin menjadi ekonom andal. Orang tua, kata Ibrahim, seyogyanya mendukung dengan membelikan buku-buku yang berkaitan dengan ilmu ekonomi. Orang tua juga bisa mengarahkan anak agar memilih perguruan dengan kredibilitas tinggi di bidang ekonomi.

"Memarahi anak dan selalu menyalahkan pilihan mereka tak menyelesaikan masalah," ujar guru besar pendidikan biologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut.

Sikap seperti itu, lanjut Ibrahim, justru mematikan rasa percaya diri anak. Akibatnya, kreativitas mereka tidak tumbuh. Para tunas bangsa itu pun jadi merasa terkekang dan tidak bisa mengembangkan kemampuan. Padahal, untuk mewujudkan pembelajaran inovatif, diperlukan kerja sama berbagai pihak. "Pertemuan tiga jalur, yakni sekolah, orang tua, dan guru, perlu dilakukan," tuturnya.(may/soe)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 15 Januari 2009

Menakar Nilai Pembelajaran Menulis

Oleh Istikoma, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA PGRI 1, Kota Mojokerto

Sebagai salah satu keterampilan berbahasa (selain membaca, berbicara, dan menyimak), menulis merupakan ranah paling signifikan untuk mengukur kemampuan siswa. Bahkan, ada pemeo yang mengatakan bahwa ketinggian derajat budaya suatu bangsa dapat diukur dari seberapa banyak buku yang telah ditulis oleh orang-orang yang hidup di negara tersebut.

Amboi! Jika itu benar, kita mungkin perlu mengurut dada. Sebab, menilik pertumbuhan di negeri ini dibandingkan sesama negara Asia Tenggara (apalagi negara maju), kita mungkin harus berlapang menerima sebutan negara yang jauh dari berbudaya.

Menulis, dari segi perolehan dan pembelajaran bahasa, umumnya berada pada tingkat terakhir. Seseorang yang sedang belajar berbahasa awalnya memulai dengan aktivitas mendengarkan bunyi-bunyi bahasa. Lalu, berkembang menjadi berbicara melalui proses menirukan, baru mengenal kegiatan membaca dan menulis. Tanpa pembelajaran menulis yang efektif di sekolah, mustahil kita bisa menciptakan penulis-penulis besar yang mengangkat khazanah budaya bangsa.

Menulis adalah proses yang melalui beberapa tahap. Tahap paling sederhana dalam menulis dapat kita klasifikasi menjadi tiga lingkup. Pertama, tahap prapenulisan meliputi penentuan topik tulisan, penentuan tujuan tulisan, dan pemilihan bahan tulisan. Kedua, tahap penulisan meliputi pemilihan kata, penyusunan kalimat dan paragraf, serta penerapan teknik menulis. Ketiga, tahap perbaikan meliputi perbaikan pada tahap buram dan perbaikan pada tahap pembacaan ulang.

Tiga tahap tersebut adalah langkah kerja yang pasti dilakukan siswa ketika melaksanakan praktik pembelajaran menulis. Baik pembelajaran menulis surat resmi, pembelajaran menulis artikel atau karya ilmiah, pembelajaran menulis pengalaman sehari-hari, pembelajaran menulis cerita pendek, maupun pembelajaran menulis puisi, pasti melalui tahap tersebut.

Karena itu, kriteria penilaian dalam pembelajaran menulis harus melibatkan tahap-tahap tersebut. Penilaian bukan semata bertumpu pada hasil akhir, ketika sebuah karya lahir dari tangan siswa. Penilaian mesti meliputi tahap-tahap pencapaian yang telah dilakukan siswa. Yakni, prapenulisan, penulisan, perbaikan, dan penulisan kembali.

Guru harus memberikan tugas menulis secara spesifik kepada siswa. Jangan sampai guru memberikan tugas menulis berdasar jumlah kata atau halaman. Misalnya, menulis pengalaman sehari-hari sebanyak satu lembar folio. Dampaknya, siswa ''kejar setoran" dengan membesarkan huruf agar kertas folionya lekas penuh. Guru harus menjelaskan tahap-tahap yang harus dilakukan dan dicapai siswa dalam menulis. Penilaian yang bertumpu pada spesifikasi tugas menulis dan pencapaian tahap dalam menulis sebagai kriteria penskoran merupakan bentuk penilaian otentik.

Ada jenis kriteria penilaian yang disebut penskoran analisis. Kriteria itu merujuk pada skala analisis yang menjadi patokan nilai keseluruhan. Skala yang digunakan untuk ranah skor adalah 4 untuk kontrol yang konsisten, 3 untuk kontrol rasionalitas, 2 untuk kontrol ketidakkonsistenan, dan 1 untuk sedikit atau tidak memiliki kontrol. Dalam tiap skala ranah skor itu, terdapat aspek pengamatan yang meliputi komposisi, gaya, formasi kalimat, penggunaan unsur-unsur kebahasaan, dan mekanika penulisan.

Selain penilaian oleh guru, penilaian menulis bisa dilakukan oleh teman sebaya (peer assesment) dan oleh penilaian diri sendiri (self-assesment). Bila diamati, mungkin cara penilaian tersebut akan menambah beban guru. Namun, bukan berarti penilaian itu tidak bisa atau tidak perlu dilakukan.

Penilaian semacam itu merupakan tantangan bagi guru untuk meningkatkan kinerja. Bukankah sejarah mencatat bahwa melalui tulisanlah tonggak sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan lahir dan berkembang? Melalui pengabdian tangan-tangan para gurulah, tonggak tersebut dapat berdiri kukuh atau tumbang. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 09 Maret 2009

Pesan Moral Profesor Kecil

Oleh: Su'da Hidayah, Guru BK KB-TK Al Hikmah, Surabaya

"Ayah, Bunda, kata Bu Guru, kalau mau makan, kita harus membaca doa dulu," begitu celetuk seorang bocah berusia 3,5 tahun kepada orang tuanya saat makan malam bersama di rumah.

Cerita tersebut saya peroleh dari seorang wali murid kelompok bermain di tempat saya mengajar. Dari sekelumit cerita tersebut, bisa kita lihat betapa besar peran seorang guru terhadap perilaku anak didik. Betapa berpengaruhnya pesan moral yang disampaikan seorang guru kepada anak didiknya. Kita juga bisa melihat keberhasilan dakwah kita melalui anak yang masih begitu polos dengan bahasa lugu mereka.

Seandainya setiap hari ada satu saja wali murid yang menyampaikan cerita seperti itu, saya yakin semua orang yang menyandang profesi guru merasa puas. Seolah, inilah "bayaran" yang sangat berarti sebagai pengganti jerih payah mereka dalam mendidik siswa.

Saat ini, pandangan orang tua terhadap makna pendidikan formal di sekolah mulai mengalami pergeseran. Semula, orang tua menuntut anaknya mendapatkan nilai bagus pada semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Kemampuan akademis dipandang amat tinggi. Sehingga, kemampuan di bidang lain kadang diabaikan. Kini, kian banyak orang tua yang lebih memedulikan perkembangan moralitas anak-anaknya.

Sebagai seorang guru TK dan KB, saya banyak belajar dari para "profesor kecil" yang sangat luar biasa itu. Mereka memacu saya untuk terus mengembangkan diri, terus berusaha memahami mereka, agar bisa membantu mereka berkembang. Di mata saya, bocah-bocah polos tersebut seolah berkata, "Jangan pernah lelah memahamiku." Harapan itu seolah terucap melalui segala kepolosan dan kelucuan yang mereka punya serta segudang potensi yang mereka miliki.

Betapa teori conditioning milik Pavlov sangat berlaku di sini. Proses pembiasaan yang berulang akan membentuk pribadi anak. Seperti diketahui, pikiran dan jiwa anak seperti kertas putih yang bisa diisi dengan berbagai pesan bermakna dari lingkungan tempat mereka belajar. Semua itu akan tersimpan dalam memori di benak mereka dan sewaktu-waktu bisa diakses sebagai bekal kehidupan mendatang.

Otak anak dalam periode tersebut peka dalam menyerap informasi berbentuk apa pun. Karena itu, kita harus sangat hati-hati dalam memberikan informasi. Kita harus benar-benar memfilter apa yang seharusnya tidak layak diterima anak.

Di sinilah kerja sama yang solid antara sekolah, guru, dan orang tua sangat dibutuhkan. Sekolah sebisanya berusaha membiasakan anak dengan hal-hal baik. Tentu sangat disayangkan bila di rumah kebiasaan itu tidak diterapkan atau malah diabaikan. (soe)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 09 Maret 2009